14 - huang renjun

651 86 12
                                    

"Sayang sekali Jisung masih sibuk menulis surat, Jeno-ya. Hari ini cuacanya indah sekali." Komentar Renjun.

Di belakang Renjun yang sedang membelai moncong kudanya, para perwira tengah memasangkan kekang dan pelana, mempersiapkan kuda sebelum keluar dari kandang.

"Iya, tapi sudah dingin kan. Kamu tidak pakai mantel?" Tanya Jeno.

Renjun menyadari kulitnya yang menyerupai permukaan stroberi, kedinginan. Biarpun cuaca bagus, Renjun lupa membawa mantel dari Yukhei yang dipinjamkan padanya akibat terburu-buru.

Melihat Renjun yang keras kepala, Jeno memakaikan mantel tebal miliknya pada Renjun. Awalnya Renjun menolak karena mantel yang dipakai Jeno berbordir naga. Naga adalah simbol kekaisaran. Hanya kaisar dan keturunannya yang boleh mengenakan naga. Bahkan, sesungguhnya selain kaisar dilarang menggunakan bordir naga emas pada benda kepunyaan apapun.

Simbol naga adalah bukti bisu, walau Jeno terasing ia tetap keturunan kaisar. Bahkan semua hiasan naga pada mantel Jeno adalah hasil sulaman tangan Renjun sendiri-supaya Jeno tidak bisa direndahkan. Jeno terlihat berwibawa memakai naga di hadapan para pejabat, namun kalau bersama Renjun saja, Jeno tersipu karena merasa terlalu mencolok.

Iya, ketika Jeno bukan kaisar. Tapi Renjun selalu membesarkan hatinya, mengomel kalau benang perak tidak menyalahi aturan. Faktanya, perak cantik sekali bersanding dengan kulit pucat Jeno.

Maka itu hari ini Jeno juga keras kepala, memaksa Renjun memakai mantelnya. Satu, karena Renjun yang menyulamnya, dua soalnya tidak ada yang akan melihat mereka di dalam hutan. Jeno dan Renjun hanya pergi dengan tiga orang perwira setia untuk membantu memetik tanaman.

"Sudah menurut saja." Ujar Jeno, merapatkan mantelnya pada tubuh mungil Renjun. "Lalu, jangan terlalu memikirkan Jisung. Kan Jisung berjanji menyusul."

"Ah benar. Kita harus menyisir daerahnya dulu buat Jisung, dia pasti kagetan kalau ikut dari awal." Goda Renjun, sudah melupakan kegusarannya terkait bordir naga.

Ketika perwira Park memberikan tanda kalau kuda-kuda sudah siap, Jeno sengaja tinggal sejenak di depan kuda Renjun. Tanpa suara Jeno menjadikan pundaknya tumpuan untuk Renjun menaiki pelana. Setelah Renjun sudah duduk manis, barulah Jeno bergegas naik kudanya. Mereka berdua, beserta para perwira berpacu meninggalkan bangunan istana, menuju hutan-hutan di balik kompleks estat istana Bwinja yang amat luas.

Daerah yang Jeno tentukan untuk pengadaan tanaman herbal masih dalam lindungan pengawasan keluarga Park, sebab seperlima dari hutan di Bwinja adalah properti milik keluarga besar kaisar. Bayangkan, hutan sebesar itu saja masih sebagian dari seluruh hutan Bwinja. Pulau ini menyimpan luas dan dalam yang belum terlalu tereksplor. Jeno yang menghabiskan seumur hidup mengenal Bwinja saja tidak bisa menjejak keseluruhan pulau.

Renjun dan Jeno memutuskan untuk pergi mengumpulkan tanaman yang berbeda. Renjun telah menjelaskan terlebih dahulu bagaimana bentuk tanaman yang perlu mereka ambil, serta cara yang benar untuk menanganinya.

"Ingat Jen, iris nya harus diagonal." Renjun mengayunkan pisau kecilnya yang masih disarung, memperagakan cara mengiris, mengingatkan berulang kali di depan Jeno.

"Begini?" tiru Jeno, mengayunkan juga pisaunya.

"Iya, benar. Lalu daunnya jangan dicabut, disimpan saja." pesan Renjun, sebelum mereka berpisah.

Mereka membagi tugas, Jeno mencari batang tanaman untuk dikeringkan dan Renjun memetik beri.

Setengah jam telah berlalu. Renjun bersenandung rendah semasa memandangi beri-beri kemerahan, senada dengan palet warna hutan-hutan Bwinja yang kecoklatan. Renjun memetik beri merah tua ranum satu per satu, menyimpannya ke dalam keranjang yang menggantung pada lipatan lengannya. Sesekali juga Renjun mengajak bicara perwira Park, pengawal yang diutus untuk berjaga kala Renjun mengumpulkan tanaman. Renjun tidak bisa bilang dirinya dekat dengan semua prajurit Istana Bwinja, namun ketika jumlah mereka tidak banyak, Renjun mengetahui nama mereka satu per satu. Kebanyakan dari mereka juga sudah tidak terlalu canggung dengan Renjun, waktu membuat mereka tahu pangeran asing dari luar pulau ini berhati lembut.

melati (noren | reupload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang