05 - tidak tidur barang sekejap

1.2K 194 25
                                    

Beberapa menit setelah Jeno berhenti berayun karena kantuk, Renjun menggeliat di dadanya.

"Yang mulia?"

Renjun terbangun terperanjat, beradu tatap dengan kedua mata gelap Jeno yang setenang air danau di malam hari, kedua pupilnya bergetar lega melihat Omeganya membuka mata.

Renjun menyadari kedekatan mereka, lengan Jeno yang menopang tengkuknya dan seluruh berat badannya di atas pangkuan Jeno.

Pekatnya kesturi di hidung sensitifnya dan hembusan nafas hangat Jeno yang hanya satu jengkal di atas bibirnya adalah bel kencang bahwa ia telah melewati batasan.

Kelabakan, Renjun berusaha melepaskan diri, sungkan dan takut membangkitkan amarah Jeno karena telah sembarangan menyentuhnya.

Namun apa daya, tubuhnya lemas bukan kepayang. Seberapa keras ia mencoba, hanya tarikan-tarikan lemah dan erangan seperti binatang terjepit yang keluar, membuat dirinya semakin panik dan kehilangan nafas.

"Tenang-tenang, breathe." Jeno lagi-lagi mengomando. Renjun bisa merasakan perlawanan nalurinya menyerah dan mengirim oksigen segar ke paru-parunya.

Memang benar Jeno Alpha yang dominan, kata Command tingkat rendah saja mampu memerintah Renjun tanpa waktu panjang, namun kontra ketakutannya sewaktu tiba di Kalér, getaran Command Jeno begitu lembut seperti ombak tenang yang mendebur dinding batu koral.

Terlebih, tangan besar Jeno mengelus kepala hingga punggung Renjun ritmis, seperti percik hujan di genting rumah.

"Yang Mulia, maafkan kelancangan saya sudah menyentuh Anda tanpa izin." Renjun menarik kerah jubah Jeno pelan, kepalanya ia berusaha topang dengan kekuatannya sendiri.

Diluar ekspektasi Renjun, Jeno malah mendekap kepala Renjun agar kembali bersandar pada dada bidangnya.

"Renjun, jangan bergerak dahulu, tenang saja di sini." Lirih Jeno.

Telinga Renjun dapat mendengar dentuman jantung Jeno yang amat keras dan cepat–seolah-olah yang baru bersedekap dengan Malaikat Maut adalah dirinya, bukan Renjun.

"Di sini saja, tolong, untukku."
Mendengar detak jantung Jeno yang berangsur normal begitu kepalanya kembali bersandar, Renjun membiarkan dirinya dalam pelukan Jeno, mendengarkan ritme menenangkannya seperti nina bobo.

Renjun hampir kembali terlelap ketika si Alpha kembali bersuara, "Renjun, apakah kamu sudah lama menderita seperti ini?"

Wajah Renjun memucat, bagian ini dari dirinya memang tidak pernah keluar jauh dari dinding kamarnya, bahkan kakaknya saja tidak tahu taraf dari kondisinya ini, "Ah, tidak selalu tuan, serangan seperti ini datang dan pergi. Wajar tuan terkejut, maafkan saya merepotkan Anda."

Bohong batin Jeno. Apa artinya malam-malam mencekam selama ini Renjun lalui sendirian?

Ketika Jeno lama tidak menjawab, kengerian merayapi hati Renjun seperti belasan ular, sepertinya kecacatan yang disembunyikan oleh keluarga Huang membuat Jeno marah, "Tolong ampuni saya, jika sekarang tuan bisa tolong turunkan saya, saya akan bersimpuh tuan, tapi tolong jangan ceraikan saya."

Renjun berdoa Jeno berbaik hati, ia tidak tahu bagaimana nasib kakak dan ayahnya apabila pernikahan ini gagal. Di luar ekspektasinya, Jeno mendekap Renjun lebih erat, kedua tangannya bergetar takut kehilangan, seperti ranting pohon takut ditinggalkan daun-daunnya meranggas, "Kamu tidak perlu menjelaskan dirimu, kamu tidak salah apa-apa."

"B-baik tuan." Renjun menunduk, membiarkan tubuh Jeno melingkupi dirinya seutuhnya.

Jeno meletakkan dagunya di atas pucuk kepala Renjun, tangannya tak lagi bergetar namun suaranya masih, "Mengapa kamu menanggungnya semua sendiri? Mengapa kamu tidak meminta bantuanku?"

melati (noren | reupload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang