Gelap telah menyelimuti seluruh benua, tak terkecuali pulau kecil di pojok Kekaisaran Utara. Terang bulan malam ini tercerah yang pernah Renjun lihat seumur hidupnya, akan tetapi bilik kamar utama- milik Jeno Lee sang penguasa pulau Bwinja- terasa dingin.
Acara pernikahan musim dingin di kaki gunung Nagacitā telah usai, dan konvoi sederhana telah kembali ke pulau Bwinja di mana istana Jeno berada. Kini tiba waktu yang ditakuti Renjun seumur jagung hidup Omeganya, malam pertama.
Di tengah ruangan lapang tersebut, Renjun duduk bersimpuh menghadap suami barunya- yang namanya masih terdengar asing di telinga. Udara di antara keduanya tidak bergerak, hanya keheningan kalut mengisi spasi terbatas di antara Renjun dan Jeno.
Di luar jendela, belalang-belalang mendendang simfoni, acuh tak acuh pada tensi yang memakan kulit dan kecemasan yang mencengkram batin Renjun kuat-kuat.
Di bawah bayangan tiang-tiang kokoh yang menaungi istana, Renjun tak bisa melihat kedua mata Jeno, tertutup gelap tegas rambut hitamnya yang ternyata tumbuh panjang.
Meski demikian, bibir Jeno ditekan menjadi garis tipis; terjaga, tak bisa dibaca. Renjun bisa merasakan peluh dingin bergulir turun dari pelipisnya.
Melihat Jeno yang hanya terdiam seribu bahasa, Renjun menelan ludahnya. Penasihat Xiao telah memperingatkannya untuk segala kemungkinan terburuk dan Alpha kolot tidak berada di daftar tersebut.
Renjun bisa mengatasi Alpha yang tidak mau mengangkat satu jari pun. Dalam kepayahannya ia mengambil nafas mendalam terakhir, lalu berangsur untuk menanggalkan pakaiannya.
Ketika jari Renjun baru membuka sabuk berbordir yang melingkari pinggangnya, Jeno mengangkat suara, "Yang mulia Huang Renjun,"
Renjun mendongak, tangan Jeno telah menangkup jemari Renjun, dengan lembut menjauhkannya dari potongan kain tersebut, "kamu bergetar."
Renjun tersentak membeku. Ia tidak menyadari kalau sedari tadi dirinya bergetar hebat seperti ranting pohon di musim dingin.
Seketika Renjun menarik tangannya, mendekapnya dekat ke dada seraya ia berupaya menurunkan kecepatan pompa jantungnya.
Alpha di hadapannya hanya terdiam, dua tangan terkepal rapi di atas lututnya. Harum kesturi dan cendana lembut memenuhi ruangan.
Perlu sejenak bagi Renjun untuk sadar ruangan itu penuh dengan aroma Jeno, jika jantungnya tidak begitu sibuk untuk melompat keluar dari kurungan dadanya.
Ketika Renjun sudah cukup tenang, Jeno berdehem pelan dan berkata, "Kita tidak perlu melakukannya."
Mata Renjun membelalak.
Ia gugup namun tidak pernah tidak siap.Menolak Omega imperial adalah sebuah penghinaan, yang bahkan tidak diizinkan norma Kalér.
Sebegitu menjijikannya kah darah Selatan?
Dahulu sekali Selatan memang pernah menjajah Utara, dahulu sekali dalam perang yang berpuluh kali lebih pekat dari sekadar pemberontakan yang dipimpin kakaknya.
Malang sekali nasib Renjun jika itu benar adanya, terutama ketika mereka sudah terikat. Seharusnya Renjun tahu untuk menanggalkan harapannya pada detik suaminya meninggalkan cium pada keningnya.
Jeno di hadapannya kembali terdiam, dua belah lututnya terpisah-Renjun akan sadar itu bukan adat Kaler yang baik jika ia tidak terbakar amarah.
Omega di dalam dirinya memohon untuk melunak, tapi Renjun adalah perlawanan sekeras batu,"Tidakkah kawanan Utara selalu berlaku sesukanya? Mengapa berhenti sekarang?"
Alpha di hadapan Renjun menelan ludah, samar bahunya mengendik terkejut namun bayangan yang menutupi wajahnya kian pekat hingga Renjun tak bisa melihatnya lebih jauh, "Maksud saya, saya ingin kita berdua nyaman untuk melakukan hal tersebut. Apakah Anda siap?"

KAMU SEDANG MEMBACA
melati (noren | reupload)
FanfictionHuang Renjun, Pangeran ke dua Kerajaan Taiyang dinikahkan pada Lee Jeno, Pangeran Ketujuh kekaisaran Kalér -kekaisaran besar di Utara-sebagai bukti keberhasilan takluknya monarki independen terakhir dari Sabuk Kepulauan. [ARCHIVE - Reupload melati (...