19 - bersamamu melewati neraka

1.1K 114 34
                                    

Remang mentari sore menerobos teralis jendela kamar di sayap barat. Renjun duduk menyender di depan laci kayu, di pojok kamar yang sama dengan yang Yukhei tempati ketika ia singgah di Bwinja. Renjun mengubur hidungnya ke dalam bulu serigala yang ditinggalkan Yukhei, bergelung aman di dalam mantel hangat hasil buruan kakaknya.

Awalnya Renjun pikir kakaknya berlebihan, cemburu tidak puguh pada Jeno, sampai berbuat macam-macam, memberikan Renjun mantel dengan aroma rempahnya. Tapi sekarang, Renjun berterima kasih. Hangat rempah cengkeh dan jintan Yukhei memberikan keamanan bagi dirinya.

Kalau Renjun memejamkan mata, semuanya masih terlihat begitu jelas.

Jeno yang terengah-engah, wajahnya dilipat dalam nikmat. Dada bidang dan perut kotak-kotak, mengkilap dengan embun-embun keringat di bawah siraman bulan Bwinja. Renjun masih bisa merasakan genggam erat tangan Jeno yang mengekang pinggangnya ke lantai, jari-jari cantiknya yang melingkari Renjun seutuhnya dalam satu genggam. Panas, sensual.

Renjun membayangkan apa lagi yang tangan Jeno bisa perbuat–kalau bisa menjamah semua pojok tubuhnya tanpa terlewat. Apa yang bibir dan mulut Jeno bisa lakukan–memuja seluruh permukaan kulit Renjun, dari pucuk buah dadanya sampai ujung-ujung jari kakinya.

Biar Jeno mengobrak-abrik kesucian dan akal sehat Renjun, mimpi-mimpi buruk Renjun tidak pernah kembali.

Memori Alpha busuk dan Command nakal penculik yang mengerjainya hilang, menguap tanpa jejak.

Digantikan mimpi basah dan erotis dengan Jeno sebagai pemeran utama.

Dalam mimpi Renjun, Jeno sedang mencium bibirnya ganas–bibir merah Jeno melumat milik Renjun tanpa ampun. Di bawah remangnya malam, Jeno dengan lengan kuatnya mempiting Renjun di atas kasur. Nafsu mengisi Renjun dengan desah dan rintih basah seraya Jeno turun berlutut di antara paha terbuka Renjun. Terasa terlalu lama, ketika Jeno meninggalkan bekas gigitan dan ciuman keunguan dalam belah dalam paha, mencumbu bekas-bekas luka Renjun seolah itu karya seni.

Pada malam yang lain, Renjun memimpikan Jeno, dengan sangat hati-hati menurunkan pinggangnya di atas kasur gulung mereka. Dikaitkannya betis Renjun ke atas pundak, harum kesturi dan melati beradu lengket— bercumbu keras hingga teriakan Renjun perlu Jeno bungkam dengan mulutnya sendiri; dalam ciuman terbuka yang membuat Renjun menangis kepayahan.

Mimpi-mimpi malam Renjun selalu panas dan menggoda, namun di momen Jeno hendak memasukan miliknya, mengsanggama Omega Renjun sampai ke langit ke tujuh—mimpi tersebut hancur berkeping-keping.

Menyisakan Renjun bangun dengan celana basah dan kasur yang ternodai akibat memikirkan Jeno sepanjang malam. Omega binal Renjun meminta dimadu Alpha nya tapi rasa sakit di dada menusuk-nusuk, mengingat Jeno pernah melukai hatinya dalam-dalam.

Kendati demikian, wajah Jeno terus terbayang di atas kertas-kertasnya.

Bersimpuh di depan meja pendek ruang lukis, Renjun mengamati serakan kertas-kertas hasil karya polesan kuasnya. Puluhan wajah Jeno menatapnya kembali.

Jeno memakan buah kesemek, jingga butir buah semarak dengan merah bibir Jeno yang tersenyum manis. Jeno menatapnya di balik sempit dua bulan sabit yang lucu.

Jeno yang sedang membaca buku, bundar kacamata yang tersemat di atas hidung tajamnya mengering seperti tar hitam di atas kulit putih bersih. Jeno menatapnya dengan teduh dan sendu, seperti Renjun menciptakan keajaiban dunia kedelapan.

Jeno di antara paha terbuka Renjun, keringat menitiki alis tebal dan liur menetes di ujung bibirnya. Jeno menatapnya dengan mau dan rakus, seolah gelap matanya sanggup membuat Omega Renjun takluk mempersembahkan diri dikawini.

Jeno dengan peluh menuruni dada telanjangnya, Jeno yang mengerang dengan nikmat duniawi, Jeno yang mengernyit dalam konsentrasi di balik gelapnya malam. Jeno. Jeno. Jeno.

melati (noren | reupload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang