15 - kesemek

691 86 6
                                    

tw: sexual assault

"Arsenik." Tabib tua yang tengah memeriksa nadi di pergelangan Renjun berkata dengan final.

"Beruntung akhir-akhir ini Huang-ssi sepertinya rutin mengkonsumsi tanaman pakis ya. Sebagian besar racunnya sudah dinetralisir oleh pakis tersebut."

Jeno menghembuskan nafas lega. Tidak disangka, minuman gelap racikan Mina ternyata terdiri atas campuran daun pakis.

Dikecupnya beberapa kali sebelah tangan Renjun yang lain, meski si empunya masih lunglai tak sadarkan diri.

"Sungguh puji syukur, tuan tabib. Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Ujar Jisung yang menanyakan kondisi Renjun, menggantikan Jeno–yang setahu Jisung tidak percaya Dewa–masih menutup mata dalam doa, tangan Renjun digenggamnya.

Tabib tersebut menggeleng, "Tidak ada yang bisa dilakukan. Tinggal menunggu Huang-ssi siuman, setelah itu ia harus banyak, saya tekankan, banyak mengkonsumsi pakis lagi supaya racunnya bisa dibuang lewat urin."

"Ahh, baik tuan tabib. Terima kasih." Angguk Jisung sopan.

"Kalau begitu saya permisi dulu." Ujar si tabib, berlalu dari kamar utama Bwinja.

Dengan menutupnya pintu geser, Jisung ikut menghela nafas lega. Jisung bersyukur Renjun telah melewati masa kritis. Hyung cantik nya mungkin Omega mungil, tapi semangat bertahan hidup dan kekuatannya luar biasa. "Jeno-hyung, beruntung sekali Renjun-hyung selamat."

Ketika Jisung tidak kunjung mendapat jawaban, ia mendapati Jeno masih setia memegangi tangan lunglai Renjun. Mengusap dan menciumnya sayang, pandangan Jeno tak pernah lepas dari wajah tertidur Renjun. Jeno berbisik sayup-sayup ke dalam genggaman tangan, "Tolong buka matamu."

Melihat Jeno yang begitu terpukul, Jisung memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua. Memberikan privasi bagi dua sejoli yang untuk pertama kalinya terpisah meski dalam rumah yang sama.

___

Renjun terbangun dua hari kemudian.

Kala itu kamar utama istana Bwinja masih gelap gulita, sisakan untuk remang dari lentera dan cahaya bulan dari jendela. Berbeda dari bangun tidur pagi yang segar, seluruh badan Renjun terasa lemas dan tenggorokannya kering.

Dengan tangan lemah, Renjun bergetar berusaha meraih punggung Jeno yang membelakanginya. Renjun perlahan-lahan beringsut mendekati Jeno. Jarak diantara mereka terasa begitu jauh dengan atrofi Renjun.

"Jeno," erang Renjun, suaranya pecah karena lemas.

Sentuhan selemah kapas Renjun untungnya disadari oleh Jeno. Jeno tersentak bangun, lalu dengan tergopoh-gopoh memapah Renjun kembali ke kasurnya.

Didudukannya Renjun sebelum Jeno meraih gelas porselen berisi air hangat yang sudah selalu disiapkan sisi futon Renjun. Jeno menyangga punggung Renjun hati-hati dan meminumkan air, secepatnya meredakan dahaga Renjun.

Rasanya sudah lama sekali Renjun tidak minum, meskipun selama ia tidak sadarkan diri, dayang-dayang dan Jeno sendiri selalu memberikannya air dan makanan yang dihaluskan.

Ketika Renjun selesai menyesap air, menelan bulat-bulat hingga jakunnya naik-turun heboh akibat kehausan, Jeno menyeka mulut Renjun dan memandangi mata Renjun lekat-lekat.

"Kamu bangun..." Ucap Jeno, seolah tidak percaya. Kedua ibu jari Jeno mengusap pipi Renjun, sementara jari-jari nya yang lain menahan rahangnya, seperti memastikan kalau Renjun nyata.

"Tidak semudah itu untuk membunuhku, Jeno." Renjun mendengus. Meskipun masih pucat, Renjun melemparkan senyum nakal untuk Jeno. Jeno menghembuskan nafas lega, alisnya mengendur dan wajahnya melunak. Senyum pengertian penuh sayang merayap pada bibir Jeno.

melati (noren | reupload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang