09 - panen kesemek

939 108 17
                                    

Matahari belum genap bangkit ketika Minhyung dan kelompoknya meninggalkan Bwinja dua hari kemudian. Tiba-tiba saja gagak Minhyung datang membawa kabar kalau perbatasan daerah Timur Laut dibuka, membuat Minhyung bergegas untuk mengejar keajaiban dunia yang tengah dicarinya.

Renjun sempat khawatir, apakah penerimaan tamunya tidak sesuai standar hingga Minhyung pergi begitu cepat, namun Jeno meyakinkannya kalau Minhyung suka datang dan pergi seperti itu.

Ketika Jeno, Renjun, beserta Jisung melepas rombongan Minhyung di gerbang kota, Jeno membiarkan satu-satu anggota rombongan Minhyung memeluknya dan Renjun erat. Chenle juga memeluk Jisung, kendati si Beta malu-malu melakukannya, menyembunyikan mau dengan gerutu.

Ketika Jeno sibuk merangkul Chenle untuk salam perpisahan, Minhyung memberikan hormat kepada Renjun, "Terima kasih banyak Renjun-ah. Jangan khawatir, aku pergi tidak ada sangkut pautnya dengan Bwinja, atau Jeno. Kalian berdua tuan rumah yang luar biasa."

Minhyung seperti membaca kekhawatiran Renjun, selalu tahu apa yang harus dikatakan.

"Sama-sama hyung, sudah sepatutnya kami menjamu Minhyung-ssi." jawab Renjun.

"Sayang sekali pertemuan kita begitu singkat. Jaga dirimu dan ini mungkin aneh, tapi aku titipkan Jeno padamu," Minhyung mengeratkan kepalan tangannya di belakang pinggang, salam terlalu formal untuk ukuran Minhyung yang santai.

Kemudian seperti berbisik pada dirinya sendiri dan bukan Renjun, Minhyung sayup berkata, "sampai jumpa. Kita akan bertemu lagi."
Renjun baru akan menjawab namun Minhyung telah berlalu untuk menumbuk Jeno dalam pelukan hangat.

Gerbang kota diangkat dan kereta-kereta kuda Minhyung akhirnya angkat kaki dari Bwinja. Minhyung melambai dengan semangat dari tempatnya di bak kereta terbuka, "Oh ya! Sampaikan salamku ke Jaemin juga, Jen."

"Tentu, hyung!" Jeno berteriak dari ujung gerbang.

Minhyung dan Chenle terus melambai pada Jeno dan Renjun hingga apa yang tersisa dari mereka berupa titik gelap di ujung pandangan–menandakan pulau terpencil ini kembali lagi terasing.

___

Renjun menghabiskan hari-hari barunya di pulau Bwinja. Mengurus gedung kastil, merasio beras, serta mencatat keuangan istana Bwinja dan rumah tangganya dengan Jeno.

Panen kesemek dan perhitungan Renjun yang akurat berhasil menghemat keuangan istana lima belas persen dari tahun lalu, sebuah pencapaian yang luar biasa yang bisa menutup sebagian biaya arang dari Gunung Suva. Di tengah penatnya musim panen, Renjun masih sering menghabiskan waktu bersama Jeno, membiarkan Jeno mengamatinya menyulam atau memetik guzheng untuk Jeno seorang.

Ketika ia tidak menyulam atau bermain guzheng, Renjun menghabiskan waktu dalam kamar dengan bukaan jendela terbesar–konstruksi terbaru di istana yang dibangun Jeno khusus supaya ia bisa melukis.

Renjun mengambil sebilah arang, menorehkan garis-garis hitam membentuk lingkaran di atas secarik kertas. Buah-buah kesemek yang tumbuh di luar jendelanya memberikan Renjun inspirasi tertentu yang membuatnya ingin menggambar tumbuhan tersebut.

Begitu Renjun mencelupkan kuasnya dalam pusaran pigmen warna-warni, Renjun baru menyadari betapa ia merindukan ini. Perasaan tenang melihat cat mengering di atas kertas, dua warna kontras beradu membentuk corak baru.

Melukis memberikan Renjun secuil hangatnya rumah di Taiyang, secuil dirinya yang lama: Huang Renjun bercahaya kesayangan Mama nya. Ini bukan berarti Renjun menyesali jalur hidupnya, melukis hanya mengingatkannya untuk fokus pada dirinya–segala sesuatu sekaligus tidak sama sekali.

Hanya Jeno dan Jisung yang mengetahui apa yang sebenarnya Renjun lakukan di dalam kamar, sebuah konsensus bahwa kamar tersebut dianggap sebagai bilik doa.

melati (noren | reupload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang