18.1 - penebusan

529 79 10
                                    

Anakku sayang tidurlah, pergilah mimpi-mimpi burukmu,

Aku harap kenanganmu selalu manis dan indah

Lupakan semua hal yang buruk

Ratap tangis tidak bisa menyentuhmu

Wanita cantik dengan rambut panjang bergelung hingga dada menimang putra satu-satunya. Dalam pelukan sang Omega, putranya tertidur tenang; putra buah kasih teramat besar dengan Alpha yang ia cintai. Dikecup kening anaknya sayang, tiga tahi lalat warisan dari ayahnya membentuk segitiga bersudut.

___

Keesokan harinya, ketegangan mengisi udara istana Bwinja. Ketika Jeno dan Renjun bertemu di ruang makan untuk jamuan pagi, hanya ada kecanggungan sesak di antara mereka. Sunyi tumpah ruah di meja makan. Jeno sama sekali tidak berani menatap mata Renjun, menunduk ke bawah dalam-dalam, sementara Renjun menolak melihat Jeno, dagu ia angkat tinggi-tinggi.

Setiap kali Jeno berusaha membuka mulutnya, mencari momentum untuk memohon ampun, Renjun membungkam Jeno dengan menjepit makanan dari piring tengah—denting sumpitnya berisik, menghardik sang Alpha untuk mingkam di tempat.

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi diantara Jeno dan Renjun, hingga Renjun, yang biasanya bagai bola api bersemangat diam seribu bahasa dan Jeno, penguasa pulau yang tenang berwibawa sampai merunduk ciut bak putri malu. Seluruh pegawai di ruang makan menyaksikan ketidakberdayaan tuan rumah mereka, ketika Renjun menyeka mulutnya duluan dan membanting pintu keluar tanpa menunggu Jeno selesai.

Hal ini kerap berulang, Renjun selalu menghindar—dari tatapan Jeno, dari suara Jeno, dari Jeno seutuhnya.

Renjun keluar kamar sayap barat lebih siang, makan duluan ketimbang Jeno, bicara seperlunya sampai tidak menyapa kala mereka berpapasan di lorong. Tiap Renjun menolak dirinya, Jeno hanya bisa mengamati punggung Renjun berlalu dengan penuh sesal.

Bermula dari sebagian dayang, secuil pengawal sampai semua pegawai istana kenyang melihat raut wajah kecewa Jeno, seperti anjing peliharaan habis ditinggal majikannya setiap berinteraksi dengan Renjun.

Sudah dua hari Renjun dan Jeno terlibat dalam kecanggungan dingin yang membuat seisi istana turut prihatin. Biasanya Jeno menempel seperti magnet pada Renjun, namun sekarang mendekat pada pasangannya saja Jeno tidak berani. Iya ketika dua malam penuh Renjun tidak pernah kembali ke kamar utama Bwinja.

Kendati demikian, hidup terus bergulir. Realita tetap menampar Jeno dalam bentuk banyaknya pekerjaan yang ia sendiri tentukan di awal musim dingin, menyita waktunya. Selain itu, Jeno masih dikuasai hasrat membalas dendam. Meski Jeno sedang tidak bicara dengan Renjun, bukan berarti ikrar sumpah Jeno akan luntur, ia tetap bertekad memusnahkan penyerang yang melukai Renjun.

Jeno masih terus berkeliling ke luar istana, mencari petunjuk. Kadang bersama Jaemin, kadang sendirian. Kali ini Jeno sedang sendiri bersama dengan dua orang pengawal, sembunyi-sembunyi menyamar sebagai pedagang kala matahari sudah tinggi di atas kepala. Jeno membuat langkahnya seringan mungkin, dirinya waspada bagai seekor serigala predator, membaur dengan orang-orang di jalan sepi.

Tiga orang pengawal kekaisaran—prajurit yang memang sepertinya berjaga di sekitar pulau—melewati Jeno dan pengawal Istana Bwinja, tertawa-tawa mabuk di siang bolong.

Berpapasan dengan mereka begitu dekat membuat harum suede dan jeruk menusuk-nusuk hidung Jeno. Meski di bawah pilinan berat aroma rum menyeruak, pemiliknya yang lengah membuat pheromone tersebut tak terjaga nan liar hingga Jeno yakin dirinya tak mungkin salah.

melati (noren | reupload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang