#1 - Kehidupan Di Dunia Sebelumnya

379 15 0
                                    

(♪)⁠━⁠☆゚⁠.⁠*⁠・⁠。゚

Sekolah adalah tempat untuk mencari ilmu dan pengalaman, itu adalah pemikiran mainstream dari semua orang, dan memang sudah banyak yang tau sejak dulu. Sama seperti sang tokoh utama cerita ini, Aviria. Di tengah orang dewasa yang sudah bekerja di luaran, Aviria menetap di sekolah dan asrama yang telah menjadi rumah keduanya sejak berumur 14 tahun.

Dengan sistem yang cukup unik. Sekolah Sihir Viva memperbolehkan murid baru dimulai dari umur 14 tahun, dan siap untuk belajar di sekolah selama 3 tahun. Dibalik itu, para pelajar dibolehkan untuk tetap mengemban ilmu untuk 3 tahun kedepan lagi, yang bisa dibilang mereka boleh bersekolah selama 6 tahun disana. Dan dengan semua itu, sekolah juga akan mencarikan pekerjaan di suatu perusahaan, siapapun muridnya.

Tirai penjelasan telah ditutup. Tirai kembali terbuka dengan Aviria yang berjalan gontai ke arah kasur. Tubuh lemah dengan rambut panjang putih seperti salju dan pernak kehijauan hutan miliknya membuat figur kecil itu nampak seperti peri hutan yang telah tinggal lama di kediaman.

“Haaa!!” Dengan nafas panjang, Aviria melompat kecil dan langsung menjatuhkan tubuh ke atas kasur. Fasilitas asrama dari sekolah Viva tak bisa diremehkan, benar-benar seperti tinggal di sebuah rumah mewah.

“Akhirnya aku bisa istirahat ….” Helaan nafas kembali terdengar, Aviria membalikan badan sehingga tubuhnya kini tengkurap seakan seperti tentara yang hendak berlatih merangkak.

Aviria mengambil bantal, memeluknya dan menenggelamkan wajah ke benda empuk dan lembut itu. Hari penuh lelah dari sekolah telah digantikan dengan waktu istirahat, Aviria tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Karena jabatannya adalah wakil ketua organisasi pengurus sekolah, sudah pasti pekerjaannya banyak.

Merasakan dingin dari bantal dan kasurnya, Aviria merasa mengantuk. Badan yang telah lelah dengan hawa dingin yang menyejukkan mampu membawanya menutup kelopak mata dan terjun ke dunia mimpi yang ditunggu-tunggu.

(♪)⁠━⁠☆゚⁠.⁠*⁠・⁠。゚

Ding!

Suara pengeras suara yang terpasang di tiap sudut sekolah berbunyi nyaring, mengingatkan jadwal mereka. “Selamat malam, semua murid. Segera bersihkan diri, makan makananmu, kemudian tidur dengan nyenyak. Selamat menikmati malam ini.” Terdengar manis sekali, meski itu hanya suara wanita yang dipakai untuk pengeras suara penjadwalan.

Aviria yang secara tak langsung mendengar itu mengeram, dibukanya kelopak mata dan satu hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit ilahi– maksudku langit-langit ruangan.

“Aku masih mengantuk.” Aviria segera duduk di ujung kasur. Dia me-loading sebentar, lalu bangun dari kasur untuk ke kamar mandi, berniat mencuci muka. Apakah dia mandi? Tidak, dia sudah mandi tadi sore.

Dress renda berwarna merah muda dengan bunga-bunga ungu muda selalu menjadi pilihan Aviria ketika mencari pakaian tidur. Dengan langkah pelan dia menuju pintu. Membuat engsel bergerak, keluar dari ruangan dan menutup pintu kembali.

Hoamm.” Menguap dan menutup mulut, setetes air mata memupuk di kelopaknya. Menyeka kemudian kembali berjalan, Aviria melangkah menuju tangga untuk menuju ke lantai pertama, tepatnya dapur.

“Astaga, asrama U-20-L sangat ramai.” Aviria mempercepat langkahnya kala mendengar suara kegaduhan di lantai bawah.

Ternyata suara gaduh dari lantai bawah berasal dari pertandingan tiba-tiba kedua gadis.

Di sisi kiri, nampak gadis dengan surai merah muda dan mata biru bagai organisme plankton di lautan. Mata birunya menyipit, menatap tajam gadis lain yang adalah saudara kembarnya.

“Kembalikan! Itu punyaku!” Aria- gadis pinky itu berteriak, emosi kala sang kembaran mempunyai kaleng kornet sapi yang digadang-gadang adalah kaleng terakhir yang ada di asrama.

Sis? ☕

Di sisi kanan, nampak Gyakoya sang kembaran birunya membalas tatapan sengit Aria dengan mata merah mudanya.

“Tidak! Tidak akan!” balas Gyakoya sang biru, dia dengan kuat menggenggam kaleng kornet di tangan. “Lagipula aku yang melihat kornet ini duluan! Siapa cepat dia dapat!”

“Logika dari mata itu!?” sahut Aria makin emosi.

“Ka-kalian berdua, tenanglah!” Seorang pirang dengan netra jeruk matang berusaha melerai keduanya, meski dalam dirinya dipenuhi ketakutan kalau mereka akan mengamuk sampai menghancurkan dunia.

“Ada apa ini?” tanya Aviria pada salah satu pemuda disana yang punya rambut hitam.

“Mereka memperebutkan kornet sapi itu. Kami sudah mencoba segala cara untuk menenangkan keduanya. Tapi, mereka tidak mau dengar.” Seakan kehilangan rohnya, pemuda itu menjawab dengan lemah. Mungkin dia sempat menjadi korban keganasan keduanya. Kasihan, trauma.

“Ohh. Eh? Sejak kapan kau membawa bantal, Rio? Bukankah harusnya itu di ruang tamu?” Aviria menyadari jika sang pemuda Rio itu membawa bantal sofa ruang tamu asrama.

“Untuk berlindung.” Rio cengengesan, membuat Aviria ber-oh ria.

“Oke-oke, tolong minggir.” Aviria menerobos begitu saja para manusia yang hanya bisa menonton perkelahian Aria dan Gyakoya sedari tadi.

Aviria menarik nafas, mencari udara agar suaranya bisa terdengar nyaring sampai singgah di kedua telinga mereka.

BRAK! Gebrakan meja makan terdengar, semuanya langsung kaget dan menoleh ke Aviria yang siap menyerukan kata-katanya. “Hei, kalian berdua! Bisa diam, tidak!? Kalian sangat berisik, tau!”

Satu, hanya satu kata setelah seruan Aviria. Hening.

Tidak ada yang mampu bersuara, momen dimana Aviria menggunakan nada tinggi untuk mereka adalah salah satu top momen terlangka.

Kedua gadis tadi yang berkelahi langsung ciut nyali, mereka buru-buru menaruh senjata perang mereka (panci dan teflon).

Aviria memijit pelipisnya, berharap rasa sakit yang tiba-tiba datang di kepala memudar. Stres, dia stres menjadi ketua kelas dan mengurus mereka. “Aku heran, deh. Kalian bertengkar terus.”

Menurunkan tangan, kini sedikit terlipat, bertahan di ketinggian pinggulnya. “Saranku. Aria, kendalikan emosimu. Dan Gyakoya, jangan terus-terusan memancing emosi Aria. Hal itulah yang membuat kalian selalu berkelahi,” ucap Aviria.

Kedua empunya nama terbungkam. Bukan, bukan karena perkataan Aviria, melainkan mereka diam dan berpikir … sejak kapan gadis yang sebenarnya tidak waras juga diantara mereka itu menciptakan saran bagus? Biasanya juga sarannya bunuh-bunuhan.

Mendatarlah mimik Aviria, menyadari kalau gadis pirang tadi mengerti wajah cengo Aria juga Gyakoya. Gadis pirang itu mengulum bibir, menahan tawa sampai bahunya bergejolak. Dia merasa wajah keduanya sangat lucu. Sementara yang lain juga dengan kurang ajarnya tertawa lepas.

Setelah ini Aviria ingin resign dari tugas ketua kelas. Gantikan saja dia dengan siapapun yang sanggup. Tuhan, Aviria benar-benar depresi mengatur mereka.

—————
|TO BE CONTINUED|
—————

DIMENSION-[BNHA X OC]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang