Lightning is Present in the Sixteenth Ice Cream

24 14 0
                                    

🍦🍦🍦

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍦🍦🍦

ˢᵃᵇᵗᵘ, ¹⁶ ᴰᵉˢᵉᵐᵇᵉʳ ²⁰²³

Gedung tinggi bercat biru muda itu sangat ramai diisi oleh anak-anak dari tim voli SMANDA pagi ini. Gedung tinggi itu sudah bukan lagi ramai oleh suara anak-anak di dalamnya, melainkan suara dari bola yang dihasilkan dari pukulan mereka.

"Kumpul, woy!" pinta Faiz dengan tangan yang menghimpit bola, Faiz dengan tegas meminta teman-temannya untuk berkumpul di tengah lapangan.

Memang, hari Sabtu menjadi hari biasa mereka untuk tetap berangkat ke sekolah untuk sekadar berlatih. Namun hari ini berbeda, berbeda dengan Sabtu sebelum-sebelumnya.  Pada Sabtu ini, satu minggu menuju final, ketua tim akan memilih siapa anggota yang akan bermain pada final kali ini. Dan itu adalah suatu ketegangan bagi sebagian dari mereka. Ada yang sangat berharap masuk tim inti, ada yang tidak mau, dan ada pula pasrah dengan hasil.

"Karena Pak Astoro belum hadir, jadi kita latihan aja dulu dengan benar," ucapnya dengan mata yang berkeliling menatap anggotanya. "Nama kalian yang akan main di final udah ada di otak gue, jadi kalian harus terima apa adanya," lanjutnya.

Tentu saja, helaan napas dari beberapa anak terdengar. Bukan karena mereka takut bermain di final, hanya saja mereka tidak ingin menimbulkan rasa kekecewaan jika mereka harus kalah nantinya. Misalnya anak perempuan. Bukan hanya laki-laki yang memiliki Zaldi dan Elliot sebagai lawan terberat mereka, tetapi perempuan juga memiliki Arva—spiker Bunga Bangsa dengan pukulan mematikan.

Namun, bukankah itu semua adalah hal normal untuk seseorang yang akan bertanding. Sepintar dan sehebat apapun mereka, pasti memiliki rasa takut tersendiri. Rasa takut yang dapat diceritakan pada orang lain, tetapi tidak dapat dirasakan oleh yang lainnya.

Walaupun begitu, mereka tetap menjadi yang terbaik. Terus mencoba dan terus melawan rasa takut yang terus menyelimuti.

Misalnya: Rain. Meski sudah terancam dikeluarkan dari ekstrakurikuler voli, dirinya masih tetap berangkat untuk berlatih? Tidak, tentu saja hanya ingin melihat pesona servis atas dari seorang Leoka. Itu sangat tidak boleh terlewatkan olehnya barang sedetik pun.

Di saat anak-anak lain yang tengah takut akan kalah, justru kali ini, Rain tengah takut oleh tatapan tajam dari Elgar yang sedari tadi mengejarnya. Rain sangat tahu jika bukan hanya Elgar yang tidak menginginkannya untuk ada di sini. Melihat anak-anak perempuan yang tidak mau bermain dengan pun sudah cukup membuat Rain mengangguk paham maksud mereka. Bukan hanya anak perempuan, anak laki-laki juga sama. Tidak mempersilahkan Rain untuk memegang bola. Dari banyaknya bola yang ada, mereka semua terjaga, agar tidak tersentuh oleh dirinya.

Jangan bertanya di mana Leo. Tentu saja cowok jangkung itu tidak memedulikannya layaknya dirinya tidak terlihat. Ia sibuk berlatih dengan yang lain. Melupakan Rain seperti tidak pernah terjadi apapun kemarin.

Ice Cream [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang