The Second Confession of the Twenty-fourth Ice Cream

22 14 0
                                    

🍦🍦🍦

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍦🍦🍦

Kalian tahu, hal menjengkelkan apa yang ada pada diri Leo?

Di saat yang lain bertanding untuk menang, Leo tidak demikian. Alasannya untuk bertanding hanya sekadar ingin bermain. Menurut cowok yang kini tengah meneguk minumnya dari botol setelah mendapat kekalahan, mereka hidup dalam pertengahan. Hidup di antara menang dan kalah, tidak ada yang hebat tidak ada pula yang payah.

Setelah kalah 2:1, sudah sangat dipastikan Bunga Bangsa adalah pemenang untuk turnamen kali ini. Alih-alih ikut mengucap selamat atau hanya sekedar bersalaman, Leo dengan muka datar melangkah berlawanan. Lebih memilih untuk duduk, mengumpulkan kembali energinya. Tidak mengindahkan pandangan teman satu timnya ataupun penonton yang sudah ia tahu jika mereka kini tengah berbisik, bertanya-tanya pada teman di sampingnya: mengapa dirinya demikian.

Lebih bertanya-tanya lagi bahwa dirinya beranjak dari duduk untuk menghampiri lawannya yang masih berada di tengah lapangan, setelah teman-teman baru saja duduk atau sekadar minum.

Berjalan untuk menghampiri Zaldi yang masih berdiri, mungkin menunggunya. Namun, belum sempat ia berhadapan dengan teman lamanya, Meghan dan juga Arya menghampirinya dari bangku tribun.

"Setelah ini, langsung pulang, Mama mau bicara." Meghan pergi keluar dari area gedung tanpa mendengarkan balasan dari anaknya. Terlihat matanya sedikit berkaca. Bahkan kedua manusia paruh baya itu tidak mengindahkan panggilannya.

"Wah, pasti lo bakal kena marah karena babak belur gini," ucap Zaldi yang sudah berdiri di samping Leo, membuat perhatiannya mengalih seketika.

"Ngomong-ngomong, gue lihat-lihat hadiahnya nggak ada yang beda dari tahun sebelumnya," lanjutnya, menunjuk ke arah meja yang sudah berisi tiga piala beserta teman-temannya. "Piala, mendali, sertifikat, uang." Zaldi menunjuk satu per satu benda berharga itu.

"Gue udah bilang kalau hadiah untuk yang kalah itu langka," balas Leo. "Jadi nggak cocok untuk ada bersama mereka," ucapnya menunjuk ke arah meja berisi piala itu.

"Gue jadi penasaran."

"Gue juga." Bukan dengan hadiahnya, tetapi dengan Zaldi. Dalam hatinya, Leo sangatlah ingin melihat reaksi dari teman lamanya saat tahu hadiah apa yang ia maksud.

"Apa hadiahnya adalah obat." Kini mereka berhadapan, saling menatap datar. "Obat agar tangan kita nggak sakit saat bertanding," lirihnya mengarahkan matanya pada tangan kanan Leo yang ternyata kembali gemetar.

Di ruang pertandingan lain, dengan penuh senang mereka tersenyum saat medali bernomor satu terpasang di leher mereka. Sorakan supporter pun ikut memeriahkan kesenangan mereka untuk hari ini.

Ice Cream [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang