"Gimana Lex, mau nggak dateng ke acara kencan itu?" Tanya sang mama penuh harap saat malam ini mereka sekeluarga makan siang bersama. Bukan hanya Alex, keluarga Salina, kakaknya juga berkumpul dan membuat rumah kedua orang tuanya siang ini lumayan ramai karena anak kakaknya sudah empat. Hari ini weekend, jadi semua anggota keluarganya bisa berkumpul dengan lengkap.
"Lex, selama ini papa ngasih kebebasan ke kamu, tapi bukan dengan cara nggak nikah lo. Masa depan kamu masih panjang. Yang naksir sama kamu juga banyak banget. Masak salah satu di antara mereka nggak ada yang masuk ke dalam kriteria kamu." Bambang juga mulai resah. Pasalnya, setelah batal menikah dengan cucu Rudi, Alex seperti tidak berminat lagi untuk menikah.
"Nggak begitu juga Pa. Memang belum ada yang cocok saja." Jawab Alex santai sambil memakan sop buntut kesukaannya.
"Lex, umur kamu udah 38 lo. Seumuran kamu anaknya sudah besar-besar. Kamu terus sibuk kerja buat siapa kalau bukan buat anak istri."
"Kakak kamu bener Lex, mama juga khawatir kalau kamu nggak nikah-nikah gini."
Kuping Alex sepertinya sudah terbiasa mendengar desakan dari seluruh keluarganya seperti sekarang. Keluarganya seolah menganggap dirinya sudah menjadi bujang tua. Ayolah, Alex belum setua itu. Kenapa mereka semua panik sekali.
"Syafa memang cantik dan berasal dari keluarga yang latar belakangnya baik. Tapi kan kalian nggak jodoh Lex. Dia sekarang anaknya sudah 3, masak kamu masih jomblo. Mama malu Lex. Tiap ada arisan, teman-teman mama semuanya bahas menantu mereka dan bicara seolah-olah kamu nggak laku. Kuping mama panas dengerinnya."
Alex menghentikan makannya, menatap seluruh keluarganya yang kini makan sambil mengomel. Meskipun menyebalkan, Alex tidak pernah mengambil hati semua omongan mereka. Sebenarnya ia juga berpikir untuk mengakhiri masa lajangnya, tapi mengingat Zelin yang selalu menempel padanya, agaknya hal itu akan susah di wujudkan sebelum gadis itu menikah.
Tapi, bagaimana jika Zelin benar-benar menikah? Apa Alex siap jika gadis arogan itu benar-benar menjadi milik orang lain. Selama ini mereka berhubungan seperti sepasang kekasih. Apa akan mudah bagi mereka berdua untuk berpisah.
"Lex, kok malah ngelamun sih. Jangan galau gitu dong. Kalau kamu terus-terusan lembek gitu, nanti kakak yang cariin jodoh. Jangan kayak cowok nggak laku gitu. Masak kalah sama Revin yang sudah punya pacar."
"Ma!! Apaan sih. Aku belum punya pacar." Revin, putra sulung Salina tampak malu mendengar ucapan mamanya. Meskipun ia punya teman dekat, tapi jika bicara soal pacar, Revin masih malu.
"Kemarin mama buka ponsel kamu. Isinya chat dari Citra. Banyak banget. Ya kalau bukan pacar apa namanya."
"Kok mama gitu sih. Itu melanggar privasi Ma."
"Privasi privasi, sama mama sendiri aja privasi."
"Sayang, Revin, jangan berdebat terus. Makan yang tenang." Rio akhirnya melerai karena terganggu dengan perdebatan anak dan istrinya yang tidak penting. Ia mengelus rambut putri bungsunya yang masih asyik makan dan tidak terpengaruh oleh perdebatan keluarganya.
"Oke. Kita makan dulu." Ucap Salina kemudian. Alex tersenyum hangat. Memang begitu ujung-ujungnya. Ia tidak pernah terkejut dengan ending dari pembicaraan ini. Alex akhirnya kembali makan dan suasana berangsur tenang kembali.
"Oh ya Lex, kakak lupa mau tanya, kemarin kakak lihat kamu lagi jalan sama cewek, tapi kakak nggak lihat wajahnya. Cuma lihat dari belakang. Kayaknya masih muda banget. Jangan-jangan selera kamu ganti jadi daun muda. Hahaha."
Pertanyaan Rio membuat Alex seketika menghentikan makannya dan mendongak, menatap horor pada kakak iparnya itu. Rio sendiri hanya tertawa kecil, tidak menyadari kecerobohan ucapannya. Sementara seluruh keluarganya yang kini menatap Alex penuh tanya, menanti jawaban dengan cemas seolah mereka sedang menunggu antrian undian berhadiah uang tunai banyak atau hadiah besar lainnya.
**
"Aaaah."
"Ouuugh."
Dua insan yang sedang memadu kasih baru saja mendapatkan pelepasan bersama-sama. Si wanita memejamkan matanya, sementara si pria mencabut miliknya dan menelentangkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar tanpa menoleh pada si wanita yang kini terengah-engah di sampingnya. Mereka sama-sama puas karena sudah bercinta selama satu jam lebih.
"Malam ini aku ada acara makan malam dengan keluargaku. Aku harus segera pulang, kau tidur saja di sini." Setelah mengatakan hal itu, si pria langsung bangkit, memunguti pakaiannya kemudian mengenakannya dengan rapi. Sementara si wanita segera meraih selimut untuk menutupi ketelanjangannya.
"Tumben Pak Devin ada acara kumpul keluarga. Biasanya sibuk semua."
"Sebenarnya ini bukan makan malam keluargaku saja. Kakek ingin berkunjung ke rumah sahabat karibnya. Karena sendiri tidak enak, ia akhirnya mengajakku, Papa dan Mama karena Om dan Tante ada di Amerika."
Si perempuan bangkit, kemudian memeluk tubuh Devin dari belakang. Pria itu tengah duduk sambil mengancingkan kemejanya, sama sekali tidak terpengaruh dengan pelukan wanita muda yang ada di belakangnya itu.
"Pak, bisakah setelah makan malam Pak Devin kemari. Kita sudah lama tidak bertemu karena Pak Devin sangat sibuk."
"Nggak bisa Sasa. Orang tuaku pasti menyuruhku tidur di rumah. Aku juga sangat sibuk. Mana mungkin nanti aku langsung kemari."
Sasa melepaskan pelukannya. Ia menatap kecewa pada Devin yang kini sudah kembali rapi dan berdiri gagah di hadapannya.
"Pak, saya mau tanya sesuatu." Sasa akhirnya memberanikan diri membuka mulutnya. Tidak tahan sedari tadi menyimpan unek-unek yang perlu ia tanyakan.
"Tanyakan saja."
"Eeeehm, apa, apa Pak Devin menyukai Zelin?"
Mendengar pertanyaan Sasa, sontak Devin langsung menajamkan matanya pada wanita itu. Apa maksud Sasa bertanya seperti itu. Apa Sasa mulai cemburu?
"Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Saya lihat di kelas Pak Devin sering memperhatikan Zelin. Apa Pak Devin menyukai Zelin?"
Devin langsung membungkuk, meraih dagu Sasa lalu mencengkeramnya erat, membuat Sasa ketakutan sambil mengeratkan pegangan selimutnya.
"Paaak, sakiiiit."
"Dengar Sasa, jangan kau ulangi lagi bertanya hal-hal seperti itu. Apa kau lupa hubungan kita hanya sekedar akad hutang piutang. Keluargamu hampir saja menggelapkan keuangan perusahaan ayahku. Aku membantu kalian dengan dana pribadiku. Itu sama dengan kau menjual tubuhmu Sasa. Kau lupa hari itu kau mohon-mohon padaku agar ayahmu tidak dipenjara. Kau bersedia melakukan apapun agar hutang perusahaan keluargamu lunas dan bahkan kini semakin membaik. Semua itu berkat bantuan dana pribadiku Sasa. Dan sekarang kau mencoba ikut campur urusanku, jangan berani-beraninya kau melakukan hal itu lagi."
Devin menatap Sasa geram sambil melepaskan cengkeramannya. Ia menatap tajam pada wanita yang saat ini terisak di hadapannya itu.
"Pak, saya hanya bertanya."
"Kau bertanya dengan nada seperti wanita cemburu Sasa. Jangan kau pikir aku tidak mengetahui hal itu. Sudah ku katakan berulang kali jangan menggunakan perasaanmu ketika kita bersama. Kau tidak lebih dari seorang pelacur. Jadi, jangan pernah berani bertanya tentang perasaanku pada wanita lain karena itu bukan urusanmu. Ku ingatkan sekali lagi, kau hanya pelacurku Sasa."
Setelah mengatakan kalimat kejam itu, Devin keluar dari kamar apartemennya sambil membanting pintu, meninggalkan Sasa yang terisak-isak di atas ranjang sambil mengusap air mata yang terus keluar dari kedua sudut matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hot Passion ( On Going )
RomanceSeumur hidupnya, Zelin hanya terfokus pada satu pria, yaitu Alex Ferdinand Hendarto. Sejak umur sembilan tahun, Zelin sudah menaruh hati pada pria yang seumuran dengan pamannya itu. Bukan hanya cinta, Zelin bahkan sudah menyerahkan tubuhnya pada pri...