Sasa mengerjap, ia membuka matanya pelan. Kesadarannya belum pulih total dan ia semakin bingung dengan keberadaannya sekarang. Kenapa ruangannya berwarna putih semua, apa ia sudah berada di surga sekarang?
Namun sepertinya ia tidak di surga karena di surga tidak mungkin ada suster. Sasa melihat suster berlalu lalang di sekitarnya dan mendengar suara dokter yang tengah memberikan penjelasan seputar kesehatannya pada seseorang.
Sasa segera membuka matanya lebar. Ia berusaha duduk meskipun sedikit kesusahan.
"Nyonya, anda jangan terburu-buru bangun dulu. Anda masih lemas." Seorang perawat membantunya duduk dan Sasa langsung menyadari bahwa kini dirinya ada di rumah sakit. Tapi tunggu, siapa yang membawanya kemari. Seingat Sasa ia tadi di halte bus saat tiba-tiba kehilangan kesadaran.
"Baiklah Pak, cukup itu saja yang bisa saya sampaikan. Saya permisi."
Sasa menoleh, menatap seorang pria yang baru saja berbicara dengan dokter yang memeriksanya. Pria itu kemudian menoleh ke arahnya. Wajah dinginnya langsung membuat Sasa urung bertanya pada pria itu.
Pria asing itu kemudian berjalan ke arah Sasa dan berhenti tepat di hadapannya. Pria itu tetap tidak bersuara, membuat Sasa kebingungan sekaligus takut. Siapa pria yang ada di hadapannya ini?
"Kau tadi hampir jatuh di halte bus. Aku yang membawamu kemari."
Sasa langsung mendongak, menatap pria yang wajahnya seperti tidak asing. Entah mirip siapa, Sasa lupa.
"Dokter sudah meresepkan obat. Kau tidak apa-apa, hanya kelelahan. Keadaanmu yang sebenarnya bisa kau tanyakan sendiri pada dokter. Sopirku sedang menebus resep obat. Setelahnya kau bisa pulang." Meskipun di ucapkan dengan nada dingin, pria itu sudah sangat baik mau membantu Sasa sejauh ini.
"Pak, terima kasih sudah menolong saya. Apalagi sampai membawa saya kemari. Terima kasih banyak."
"Hmmm."
"Permisi Pak Derrel, ini obat yang Anda minta tadi." Seorang pria setengah baya masuk dengan membawa plastik berisi obat lalu menyerahkannya pada pria yang bernama Darrel itu. Pria itu kemudian menyerahkan obatnya pada Sasa yang menerimanya seperti orang bodoh.
"Itu obatmu. Kau bisa pulang setelah ini. Aku pergi dulu. Jaga diri baik-baik. Jika lelah, sebaiknya tidak usah kemana-mana dulu."
Sasa mengangguk pelan. Pria bernama Darrel itu kemudian meninggalkan ruang UGD tanpa mengatakan apapun lagi. Sasa yang menyadari lamunannya, langsung merutuki dirinya karena lupa berterima kasih sudah di berikan obat. Benar-benar merepotkan.
Sasa segera bangkit dari ranjangnya kemudian berjalan menuju pintu UGD. Siapa tahu pria asing itu masih ada di dekat sini. Dan harapan Selasa hanya tinggal harapan karena pria itu sudah tidak tampak lagi. Sasa menghembuskan napas berat, kemudian duduk di kursi yang ada di sana.
Siapa pria tadi? Kenapa wajahnya seperti tidak asing. Dan kenapa pria itu begitu baik mau menolongnya. Sasa melihat kantong plastik berisi obat di tangannya. Pria itu juga begitu baik mau menebuskan resep untuknya. Sasa berharap, suatu saat bisa bertemu pria itu kembali dan mengucapkan terima kasih atas apa yang pria itu lakukan untuk menyelamatkannya hari ini.
**
Alex pulang ke apartemennya setelah menghadiri kencan buta dadakan yang direncanakan oleh mamanya. Ia benar-benar tidak menyangka mamanya sampai berpikir merencanakan kencan buta menjemukan seperti tadi. Alex bahkan sekarang masih ilfil pada gadis bernama Rumi itu.
Rumi adalah anak teman mamanya dan putri seorang gubernur. Gadis itu masih muda, masih berumur 28 tahun, sepuluh tahun di bawahnya. Karirnya sukses sebagai desainer kenamaan. Wajahnya juga lumayan cantik meski tidak secantik Zelin.
Yang membuat Alex ilfil pada gadis itu adalah cara bicaranya yang sangat sombong dan selalu menunjukkan prestasi dan kesuksesannya. Baru pertama bertemu, Alex sudah ilfil dengan cara bicaranya. Zelin saja yang lebih kaya tidak pernah pamer seperti itu. Ada-ada saja mamanya itu. Pake acara maksa dan ngancam-ngancam. Besok-besok kalau mamanya seperti itu lagi, Alex tidak akan mau hadir apapun alasannya. Menggelikan harus mendatangi kencan buta seperti tadi.
Membuka pintu apartemennya, Alex tidak mendapati siapapun di ruang tamu. Biasanya Zelin jam segini sudah pulang dan menonton TV. Kenapa sepi sekali. Alex kemudian berjalan menuju dapur. Suara seseorang tengah menggoreng sesuatu membuat Alex tersenyum. Rupanya Zelin sedang memasak.
Tumben sekali. Biasanya wanita itu lebih suka delivery order di jam-jam segini. Apa ada acara tertentu yang akan mereka rayakan?
Dan benar saja, di depan pintu dapur, Alex melihat Zelin berjibaku dengan wajan dan kompor. Satu hal yang Alex salut dari Zelin. Meskipun terlahir di keluarga kaya raya, Zelin tidak pernah sungkan turun ke dapur untuk memasak. Membuatkan sesuatu untuknya meskipun kadang rasanya masih awut-awutan.
Alex berjalan menuju Zelin yang belum menyadari kehadirannya. Ia memeluk Zelin dari belakang sambil mengintip masakan wanita itu. Rupanya Zelin tengah menggoreng sosis, salah satu makanan kesukaan wanita itu.
"Kau masak apa? Apa hanya sosis ini?" Tanya Alex sambil mencium leher Zelin. Wanita itu hanya bergidik, tidak menoleh sama sekali.
"Ada udang asam manis juga. Kelihatannya enak sekali."
"Hmmm."
"Kapan matangnya? Aku sudah lapar."
Zelin berbalik, mengacuhkan Alex sambil menata makanan di meja. Ia kemudian meniriskan sosis gorengnya, menata kembali di meja dan tetap mengabaikan Alex yang menatap bingung padanya.
"Kau kenapa? Ada masalah?" Tanya Alex kemudian karena sedari tadi Zelin terus mendiamkannya. Jika sikap Zelin seperti ini, berarti kemungkinan wanita itu tengah marah padanya.
Tidak ada jawaban apapun dari Zelin. Wanita itu menyiapkan makanan sendiri kemudian makan tanpa menawari Alex. Sungguh membuat Alex kebingungan. Ia duduk di kursi yang ada di samping Zelin kemudian menatap intens pada wanita yang saat ini tengah makan dengan lahap tanpa mempedulikannya.
"Kenapa kau tidak bicara sedari tadi? Apa ada yang salah? Bicaralah."
Zelin masih terus menyantap sosisnya dengan lahap. Tidak peduli sama sekali dengan keberadaan Alex di sampingnya. Hingga karena kesal diabaikan, Alex mengambil piring yang tengah digunakan makan oleh Zelin, membuat wanita itu seketika menatap tajam padanya.
"Berikan piringnya. Aku sedang makan. Kau tahu aku paling tidak suka diganggu saat makan."
"Katakan ada apa? Jangan bersikap seperti itu. Aku tidak suka kau diam tanpa sebab seperti ini."
Zelin menghembuskan napas berat, kemudian menatap Alex dengan tatapan datar. Sebenarnya ia marah bukan main mengingat pemandangan yang ia lihat tadi siang. Tapi, Zelin berusaha sebisa mungkin mengontrol amarahnya agar tidak meluap dan menimbulkan kekacauan.
"Om, aku mau makan. Tolong jangan ganggu atau aku akan marah." Ucap Zelin masih berusaha sabar. Alex tersenyum kecil sambil menatap mata Zelin yang menyorotkan kemarahan.
"Katakan apa yang membuatmu marah lalu kita selesaikan masalahnya. Jangan diam seperti ini dan membuat suasana menjadi canggung. Jadi katakan saja sekarang atau piring ini akan tetap ada di hadapanku."
Praaaang
Zelin merebut cepat piring makannya dari Alex kemudian melemparkannya ke lantai, membuat makanan itu berserakan kemudian wanita itu meninggalkan meja makan dan pergi begitu saja tanpa memberikan penjelasan pada Alex yang kini mematung kaget di meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hot Passion ( On Going )
RomanceSeumur hidupnya, Zelin hanya terfokus pada satu pria, yaitu Alex Ferdinand Hendarto. Sejak umur sembilan tahun, Zelin sudah menaruh hati pada pria yang seumuran dengan pamannya itu. Bukan hanya cinta, Zelin bahkan sudah menyerahkan tubuhnya pada pri...