Part 16

976 80 7
                                    

"Hai Jena, kau dengar aku?" Jena tersadar dari lamunannya saat Zafran memanggilnya. Ia kebingungan sendiri harus menjawab apa karena pertanyaan Zafran adalah rahasia terbesar Zelin dari keluarganya.

"Aku, aku nggak tahu Kak. Setahuku semenjak SMA, Zelin selalu menolak pria-pria yang suka padanya dengan alasan ingin fokus belajar. Hanya itu yang aku tahu."

"Benarkah. Padahal dulu ketika masih SD, dia itu playgirl papan atas. Sering bergonta-ganti pacar seenaknya. Mungkin dia sekarang udah tobat kali ya."

Jena dan Zafran tergelak bersamaan. Membayangkan Zelin tobat entah kenapa sangat lucu. Jena sendiri tidak mau terlalu ikut campur urusan sahabatnya itu. Ada batas-batas tertentu yang tidak ingin ia langkahi karena takut akan memecah persahabatannya dengan Zelin.

"Kau sendiri, sudah punya pacar?" Tanya Zafran sedikit ragu. Seketika Jena menoleh cepat pada lelaki di sampingnya itu, memastikan bahwa pendengarannya tidak salah.

"Maksud Kak Zafran?"

"Pacar, apa kau sudah punya?"

"Eeeeh, itu, aku, aku___"

"Jangan bilang kalau tidak laku karena itu tidak mungkin. Kau cantik dan berasal dari keluarga berada. Tidak mungkin ada laki-laki yang tidak menyukaimu. Apalagi kau sangat perfeksionis." Zafran mengutuk mulutnya yang dengan lancar memuji Jena. Kenapa terdengar seperti ia menyukai Jena? Itu tidak mungkin kan.

"Aku memang belum punya pacar Kak. Sama seperti Zelin, aku ingin fokus kuliah dulu." Tidak mungkin Jena menjawab bahwa ia menyukai Zafran. Bisa-bisa Zafran langsung menurunkannya di jalan karena disangka wanita gila.

"Bagus. Fokus saja kuliah dulu. Pacaran hanya akan mengganggu konsentrasi." Jena mengangguk pelan, kemudian ia kembali menatap Zafran yang kini tengah menyetir di sampingnya.

"Kakak sendiri, apa sudah punya calon istri?" Tanya Jena ragu-ragu, membuat Zafran seketika menoleh dan menatap Jena dengan tatapan terkejut. Di detik selanjutnya pria itu kemudian tergelak pelan.

"Belum. Sebenarnya Mama terus memaksaku mencari calon istri. Katanya umurku sudah waktunya menikah. Tapi gimana ya, belum ada yang cocok."

"Ooooh."

"Kamu mau jadi calon istri aku?"

"Apa!!"

"Bercanda Jena. Nggak usah heboh gitu." Zafran mengusap rambut Jena pelan, membuat kedua pipi Jena memerah seperti kepiting rebus. Zafran tidak tahu efek candaannya barusan membuat hati Jena berdebar-debar tidak karuan.

"Kita sudah sampai. Benar ini rumahmu kan? Soalnya udah bertahun-tahun nggak kemari semenjak terakhir kali mengantarkan Zelin kelompok kelas 3 SMA. Kamu nggak pindah rumah kan?"

"Ya nggak lah Kak. Rumahku tetep di sini. Kak Zafran nggak mampir dulu."

"Udah malam. Waktunya orang istirahat. Cepet masuk sana."

Jena mengangguk, kemudian keluar dari mobil Zafran. Ia melambaikan tangan saat mobil Zafran melaju meninggalkan rumahnya. Jena menghadap ke pagar rumahnya kemudian masuk ketika satpam membukakan pintu. Ia segera berlari ke dalam rumah sambil berteriak-teriak kecil, senang bukan main karena tadi Zafran memegang rambut kesayangannya.

Jena harap, mobilnya sering-sering mogok dan ia bertemu Zafran agar diantarkan seperti sekarang. Rasanya Jena seperti tidak mau keramas berhari-hari agar bau tangan Zafran di rambutnya tidak hilang dan bisa ia cium ketika ia merindukan pria itu.

**

Sasa sudah selesai mengganti pakaiannya saat acara kampus sudah berakhir. Ia sudah di tunggu kedua orang tuanya di parkiran. Zelin sudah keluar terlebih dahulu karena wanita itu tidak tahan memakai baju rancangan anak fashion design yang menurutnya cukup berat.

Keluar dari ruang ganti, Sasa melihat pemandangan yang membuat dirinya mematung seketika. Tampak dari kejauhan, Devin tengah berbincang akrab dengan kedua orang tua Zelin dan juga Zelin sendiri. Devin secara terang-terangan menatap pernah kekaguman pada sahabatnya itu.

Tidak ingin terus melihat pemandangan menyesakkan itu, Sasa segera membalikkan tubuhnya dan mengurungkan niatnya lewat jalan tersebut. Ia mengambil jalur lain saja menuju parkiran meskipun agak jauh. Namun karena pikirannya melayang ke mana-mana, tubuh Sasa tidak sengaja menabrak tubuh kokoh hingga nyaris terjatuh. Sasa sudah memejamkan mata saat sebuah lengan menahan tubuhnya.

"Buka matamu, kau tidak jadi jatuh." Mendengar ucapan dari suara yang tidak asing baginya, Sasa seketika membuka matanya. Ia langsung menegakkan tubuhnya saat menyadari seseorang yang tempo hari menolongnya dan membawanya ke rumah sakit kini ada di hadapannya. Pria dengan wajah dingin itu menatapnya lekat, membuat Sasa salah tingkah sendiri.

"Pak, Anda di sini?" Sasa berucap gugup, tidak tahu juga harus bertanya apa pada pria yang tidak ia kenal itu.

"Jadi, kau mahasiswi di kampus ini. Tadi aku melihatmu tampil di atas panggung."

"Eeeeh, itu. Sa, saya, anu___"

"Aku di undang kemari. Selain karena pengusaha, ayahku rektor di sini."

"Apaa!!!"

"Kenapa?"

"Profesor Devin ___"

"Dia adikku. Kau mengenalnya?"

"Saya, anu, saya ____"

"Mahasiswi-nya?"

"Eeeh, bagaimana bapak bisa tahu?"

"Hanya menebak. Tadi penampilanmu cukup bagus. Kau berbakat jadi model. Sayangnya kau calon arsitek."

"Eeeh, Pak. Tempo hari saya belum berterimakasih. Bapak sudah menolong saya dan menebuskan resep obat saya. Terima kasih banyak Pak."

"Sama-sama. Saat itu aku melihatmu hampir pingsan di halte bus. Aku segera turun dan kau keburu pingsan. Bagaimana keadaanmu sekarang, sepertinya sudah membaik."

"Seperti yang bapak lihat, saya baik-baik saja. Sekali lagi terimakasih Pak."

"Hmm. Kalau begitu aku pulang duluan. Ini sudah malam. Kau juga akan pulang bukan?"

"Iya Pak. Kedua orang tua saya sudah menunggu di parkiran."

"Oke, aku duluan."

Sasa menatap punggung Darrel yang berlalu dari hadapannya. Pantas saja saat menolongnya kemarin Sasa sangat akrab dengan wajah pria itu. Rupanya Darrel adalah kakak Devin. Mereka sangat mirip, hanya berbeda usia saja.

Meneruskan langkahnya, Sasa menuju parkiran dimana kedua orang tuanya tengah menunggunya. Ia berjalan pelan di sepanjang lorong kampus yang agak sepi. Jalan ini termasuk sepi karena bukan jalan pintas. Hanya sebagian orang saja yang melewati lorong ini.

Saat hampir naik lift, Sasa di kejutkan dengan seseorang yang secara kasar mendorong tubuhnya ke dalam lift khusus eksekutif. Sasa menoleh saat pintu lift tertutup dan matanya langsung melebar saat mendapati Devinlah yang sudah mendorongnya tadi.

"Pak, ada apa ini?"

Devin tidak mengatakan apapun. Setelah lift terbuka, ia langsung menarik lengan Sasa dengan kasar. Ketika melewati parkiran, Sasa mengarahkan tatapannya ke segala arah. Ia berharap tidak ada yang melihat bagaimana Devin memperlakukannya saat ini. Sasa belum siap jika ada yang mengetahui skandal-nya dengan Devin. Saat tiba di sebuah ruangan gelap, Devin langsung mengunci pintu dan menyalakan lampunya.

Plaaak

Tanpa mengatakan apapun, pria itu langsung menampar pipi Sasa hingga tubuh wanita itu menabrak tembok. Sasa langsung memegangi pipinya dan menatap Devin dengan mata berkaca-kaca. Ada apa ini? Apalagi salahnya hingga membuat pria itu tampak marah dan menatapnya berang seolah ingin menghabisi Sasa saat ini juga.

Hot Passion ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang