Part 6

2.1K 120 7
                                    

Zelin tengah berjalan-jalan dengan Jena di sampingnya. Hari ini Sasa tidak ikut saat mereka ingin shopping-shopping. Dari ketiganya, memang Sasa yang paling tidak boros. Mungkin karena pernah merasakan ekonomi orang tuanya terpuruk saat mereka masih SMA, Sasa jadi lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang sakunya. Padahal yang mereka dengar, perusahaan orang tua Sasa kini sudah membaik seperti sediakala.

"Zelin, itu ada tas bagus, ke sana yuk." Belum sempat Zelin menjawab, Jena sudah menarik lengannya menuju toko yang di tunjuk oleh perempuan itu.

"Ini, bagus banget kan?" Jena tampak rempong memilih beberapa tas branded dan aksesoris lainnya. Zelin sendiri tidak begitu berminat. Tasnya sudah sangat banyak dan ia sedang tidak ingin menambah koleksi lagi.

Setelah Jena selesai berbelanja, mereka memutuskan makan siang di restoran Jepang. Hari ini weekend dan suasana lumayan ramai. Zelin dan Jena kebagian tempat duduk di pojok dan merekapun langsung memesan makanan.

"Zelin, lo ngerasa nggak kalau Sasa itu berubah semenjak kedua orang tuanya hampir bangkrut dulu." Tanya Jena begitu mereka selesai memesan menu makanan.

"Ya, gue ngerasa. Mungkin itu karena Sasa harus hemat. Gimanapun juga kan kondisi keuangan kedua orang tuanya sedang tidak stabil saat itu."

"Bukan begitu Zelin. Kalau itu sih pasti. Tapi kayak Sasa itu menyembunyikan sesuatu gitu lo."

"Maksud kamu apa sih Jen, aku nggak faham."

Jena terdiam sebentar saat pelayan menyajikan pesanan mereka. Setelah pelayan itu selesai dan pergi, Jena segera menatap Zelin intens, namun Zelin mengabaikannya karena sibuk dengan ponselnya.

"Zelin, lo dengerin gue nggak sih?" Jena merengut kesal, membuat Zelin yang menyadari hal itu segera meletakkan ponselnya di meja dan tergelak menatap wajah sahabatnya itu yang saat ini tengah cemberut.

"Iya, gue denger. Sori itu tadi gue balesin pesan dari nyokap, ngingetin kalau nanti malam makan malam di rumah kakek."

"Kesel tahu nggak sih kalau di cuekin gitu." Jena cemberut sambil menyantap ramennya, membuat Zelin terkikik geli.

"Terusin terusin, gue dengerin sekarang." Zelin pun mulai menyantap ramennya sambil fokus mendengarkan celotehan Jena.

"Gue ngerasa, Sasa itu kayak nyembunyiin sesuatu gitu lo dari kita  sejak orang tuanya hampir bangkrut. Selain lebih pendiam dan hemat, Jena juga kayak murung gitu. Kenapa ya?"

"Masak sih. Biasa aja menurut gue."

"Lo sih nggak peka. Terus ya, lo jangan ngomong ke siapa-siapa. Soalnya gue juga beberapa hari yang lalu baru tahu."

"Nggak usah berbelit-belit deh, bikin gagal faham jadinya. Ngomong aja yang jelas." Jena membenarkan rambutnya, kemudian memajukan wajahnya ke arah meja dan memberi isyarat pada Zelin agar mendekat padanya. Zelin yang menyadari hal itu pun segera mendekatkan wajahnya ke arah wajah Jena.

"Pas beberapa hari yang lalu tasnya Sasa nggak sengaja jatuh, gue lihat kayak ada pil kontrasepsi gitu di dalamnya. Entah itu mata gue yang salah lihat atau gimana, kayaknya gue kenal deh pil itu. Soalnya sama kayak punya nyokap gue."

"Lo serius!!" Zelin segera menatap horor pada Jena, membuat Jena kesal setengah mati karena suara Zelin terdengar cukup keras.

"Lo apaan sih. Gue bilang pelan, kok malah ngegas."

"Sori, sori, gue refleks karena kaget." Zelin menutup mulutnya sebentar, kemudian kembali menatap Jena yang jarang-jarang menampilkan raut wajah serius.

"Gue nggak sengaja lihat. Sasa cepet-cepet masukin lagi barang-barangnya. Setelah itu kok pikiran gue jadi aneh-aneh ya. Lo gitu juga nggak sih kalau jadi gue?"

Zelin dan Jena bertatapan intens, bahkan ramen mereka sudah hampir dingin karena terlalu lama termenung. Saat mereka saling menatap penuh tanya, sebuah suara yang memanggil Zelin membuat keduanya menoleh seketika.

"Zelin, kau di sini." Zafran yang sepertinya baru selesai rapat berjalan ke arah adiknya. Ia berdiri tepat di hadapan adiknya yang saat ini tidak tinggal di rumah mereka lagi.

"Kak, kau ada rapat?" Tanya Zelin begitu Zafran mendudukkan dirinya di kursi yang ada di sebelah Jena. Tidak menyadari wanita disampingnya tersipu-sipu tidak jelas.

"Iya. Aku baru selesai rapat dengan klien di sini. Aku melihatmu makanya langsung kemari. Hai Jena, bagaimana kabarmu?"

Jena yang di sapa segera merapikan penampilannya. Ia membenarkan baju dan rambutnya yang sebenarnya sudah sangat rapi.

"Aku baik Kak. Lama tidak bertemu."

"Hmm. Adikku tidak tinggal di rumah kami. Jadi aku tidak pernah melihat teman-temannya lagi."

Jena dan Zelin tergelak bersamaan. Ketiganya kemudian mengobrol ringan dengan Jena yang sesekali melirik kakak sahabatnya itu. Zafran sangat tampan, Jena tidak bisa memungkirinya. Sudah lama sebenarnya ia mengangumi kakak sahabatnya itu, tapi tidak berani bicara pada siapapun karena takut Zelin akan marah padanya.

Ketika Zafran dan Zelin sibuk membahas acara makan malam kakeknya dan kuliah mereka, Jena bahkan tidak nyambung sama sekali dengan pembicaraan mereka karena terlalu fokus menatap Zafran yang entah kenapa selalu terlihat tampan dalam keadaan apapun dan membuatnya semakin hari semakin terpesona.

**

Keluarga Hartono tengah berkumpul untuk makan malam bersama. Mereka menunggu tamu yang sedari tadi terus dibicarakan oleh Rudi. Teman masa kuliah yang juga seorang pengusaha sukses sekaligus pemilik  universitas ternama dimana Zelin kuliah saat ini.

Karena kesibukan masing-masing, mereka jadi jarang bertemu. Dan ketika beberapa hari yang lalu keduanya bertemu di sebuah acara amal, Rudi mengundang sahabatnya itu untuk makan malam di rumahnya. Toni, nama sahabatnya itu akan kemari bersama anak dan cucunya.

Zelin sedari tadi tidak menghiraukan suasana ramai di ruang keluarga dimana anak dari pamannya tengah berkumpul. Kak Syafa dan Om Revan sudah punya 3 anak. Sedangkan Kak Ega masih satu. Meskipun begitu, suasana sudah sangat ramai, membuat Zelin tidak bisa konsentrasi belajar untuk kuliah besok. Padahal ia sudah mengungsi ke balkon, tetap saja suara berisik itu masih terdengar.

"Sayang, kok kamu masih sibuk belajar, padahal hari ini weekend lo." Zelin menoleh, mendapati sang mama berjalan ke arahnya lalu duduk di hadapannya. Friska membawakan segelas teh hangat untuk putrinya.

"Tugas banyak banget Ma. Nanti kalau nggak di cicil nggak bisa keburu." Jawab Zelin sambil meminum teh yang tadi dibawakan mamanya.

"Kamu semangat banget pengen jadi arsitek. Padahal mama sama papa nggak ada yang jadi arsitek. Nurun dari mana ya cita-cita itu." Friska menatap halaman rumah mertuanya, Zelin hanya tersenyum sekilas, tidak menyahut ucapan mamanya yang seolah meragukan cita-citanya.

"Sayang, kayaknya tamu kakek udah datang itu. Ayo kita turun."

"Mama Ma?"

"Itu, ada mobil mewah masuk ke halaman. Pasti itu tamunya."

Zelin akhirnya menutup laptopnya. Ia mengikuti mamanya keluar dari kamar dan menuruni tangga. Terdengar suara tawa kakeknya menggelegar dari ruang tamu. Mungkin memang tamunya sudah tiba.

Sesampainya di ruang tamu, seluruh keluarganya sudah berkumpul dan menyambut tamu kakeknya. Dan alangkah terkejutnya Zelin saat sangkaannya berubah menjadi kenyataan. Ternyata memang firasatnya beberapa hari yang lalu ada benarnya.

"Itu cucuku yang paling kecil, Zelin namanya, dan itu istrinya Rafael. Zelin itu kuliah di universitas milikmu." Rudi tampak bersemangat menceritakan seputar Zelin kepada sahabatnya itu. Mereka tertawa keras sementara Zelin berjalan sambil menatap bingung pada pria muda yang kini berdiri di samping teman kakeknya.

"Kenalkan cucuku yang pintar ini, namanya Zelin. Dia sangat cantik bukan."

"Benar, dia sangat cantik seperti mamanya." Sahut teman kakeknya itu sambil tertawa renyah.

"Hai Zelin, kita bertemu lagi." Pria muda yang sedari tadi berdiri di samping kakeknya kini menyapa Zelin dengan senyum cerah, membuat semua orang yang ada di situ sontak seketika terdiam dan menatap Zelin dengan tatapan yang berbeda-beda.

Hot Passion ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang