Sasa mengusap air mata yang mengalir di kedua pipinya sepanjang perjalanan pulang. Hari ini ia tidak membawa mobil karena malas menyetir. Sasa memilih naik taksi. Dan karena melamun, Sasa berjalan kaki hingga tak di sadarinya, ia sudah jauh dari kampus.
Katakan Sasa terlalu cengeng. Ia sakit hati melihat bagaimana Devin begitu terang-terangan tertarik pada Zelin. Salahnya karena menaruh hati pada pria itu. Devin sejak awal sudah menegaskan, hubungan mereka hanya sebatas partner ranjang saja.
Devin sudah berjasa menolong perusahaan papanya saat di ambang kebangkrutan. Meskipun pria itu memanfaatkannya, setidaknya Devin yang sudah menyelamatkan seluruh keluarganya dari kemiskinan. Sasa saja yang terlalu berharap lebih dari pria itu.
Sejak awal bertemu di perusahaan papanya Devin saat itu, Sasa memang sudah jatuh hati pada Devin. Itulah kenapa ketika Devin menawarkan pertukaran antara uang dan tubuhnya, Sasa tidak berpikir dua kali untuk menerimanya. Sasa berharap, suatu saat Devin membuka hati untuknya dan mereka bisa bersama selamanya.
Sasa tidak menyangka, harapannya hanya semu belaka. Devin memang hanya sekedar memanfaatkannya saja. Di tambah, status mereka yang berbeda kasta. Devin putra pengusaha kaya raya, sedangkan ia hanya putri pengusaha biasa yang tidak sebanding dengan kekayaan keluarga Devin. Pantas saja Devin lebih melirik Zelin karena selain lebih cantik dan lebih pintar darinya, Zelin juga dari keluarga yang sepantang dengan keluarga Devin dari segi kekayaan.
Sasa tidak bisa begini terus. Ia harus cepat-cepat menghapus nama Devin dari hatinya. Ia sudah cukup menderita karena menjual diri pada pria itu. Sasa tidak mau bertambah sakit hati karena cintanya tidak berbalas.
Karena kelelahan, Sasa memutuskan duduk di halte bus. Ia menyandarkan tubuhnya ke tiang halte karena kelelahan. Sasa tidak tahu kenapa beberapa hari ini tubuhnya tidak bisa di ajak kompromi. Ia sering lemas dan berat badannya juga menurun.
Mata Sasa berkunang-kunang menatap jalanan yang ada di depannya. Tubuhnya juga terasa sangat lemas. Sadar bahwa dirinya tidak baik-baik saja, Sasa segera berdiri untuk menyetop taksi. Ia sempoyongan sambil melambaikan tangannya.
Sasa melihat sebuah mobil hitam berhenti tepat di hadapannya. Ia melihat seorang pria keluar dari mobil mewah itu. Dan sebelum Sasa menyadari apa yang terjadi, tubuhnya sudah ambruk dan pandangannya menggelap. Ia hanya merasa seseorang menangkap tubuhnya sebelum kemudian kesadarannya sudah hilang secara total.
**
"Gila, jadi yang makan malam di rumah kakek lo itu keluarganya Profesor Devin. Waaah, gila, gila, gila." Jena menggeleng tak percaya saat mendengar cerita Zelin tentang keluarganya dan keluarga Profesor Devin. Sejak berbincang ringan tadi, Jena penasaran kenapa Profesor Devin dan Zelin terlihat akrab sekali. Dan benar rupanya, ternyata mereka pernah makan malam keluarga bersama.
"Gue juga nggak nyangka sebelumnya. Gue pikir anaknya Pak rektor yang mana, eeeeh, ternyata Profesor Devin. Gue pikir anaknya rektor kan nggak cuma Profesor Devin aja." Zelin berjalan sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas dan mengambil kunci mobilnya. Mereka harus segera pulang karena hari sudah sore.
"Waaah, Sasa belum denger ini. Kalau denger pasti heboh dia." Jena tampak antusias membayangkan makan malam dengan Profesor Devin. Pasti menyenangkan sekaligus menegangkan. Mengingat, pria itu cukup killer di kelas mereka.
"Eh Jen, kok gue ngerasa lo bener ya. Sasa tu makin lama makin aneh gitu. Gue juga bingung lama-lama. Lo ingat nggak tadi pas dia tiba-tiba ijin pulang gitu aja. Padahal kan kita ada janji jalan-jalan ke mall. Aneh banget nggak sih." Zelin bersandar di kap mobil sambil bersedekap, menatap pada Jena yang juga tampak kebingungan sekarang.
"Kan gue udah ngomong. Sebenarnya itu udah lama sih Zelin, tapi kita aja yang nggak nyadar. Gue pikir sih karena perusahaan orang tuanya bermasalah. Tapi ternyata sampai sekarang jadi kebablasan. Padahal keadaan perusahaan papanya sudah stabil."
"Kok dia nggak cerita ke kita sih kalau ada masalah."
"Ya itu. Kok kayak nggak nganggap kita banget. Kan bisa ngomong kalau ada masalah. Kalau kita bisa bantu, ya kita bantu."
Keduanya terdiam. Tidak habis pikir dengan hidup sahabat mereka yang satu itu. Seperti tidak ada masalah, tapi Sasa seperti menyimpan beban tersendiri yang seolah menjadi bom atom yang siap meledak kapan saja.
"Jen, gue balik dulu ya. Nanti kita bahas lagi pas lo ke apartemen gue. Gue mau istirahat soalnya capek banget."
"Capek apa kangen sama sugar daddy tetangga apartemen?" Goda Jena sambil mengedip manja, membuat Zelin tergelak sambil mengibaskan tangannya.
"Itu bukan urusan lo. Dan lagi, jangan panggil Om Alex sugar daddy. Jijik banget tahu."
"Suka-suka gue dong. Eh Zelin, lo beneran belum di apa-apain sama sugar daddy lo itu. Kok kayaknya mustahil gitu. Lo cantik, seksi, pinter plus cinta banget sama tu Om Om. Kok bisa sih kalian tahan nggak ngapa-ngapain?"
"Jena mulut lo itu lama-lama ngaco ya. Kok usil banget sampai ngurusin hubungan gue sama Om Alex. Udah, pulang sana. Gue juga mau pulang."
Zelin memasuki mobilnya, mengabaikan teriakan tidak penting Jena. Ia menyetir mobilnya meninggalkan kampus menuju apartemennya. Sepanjang perjalanan, ia bernyanyi kecil, menikmati setiap perjalanan dan membayangkan bertemu dengan Alex ketika sampai di apartemen nanti.
Ketika berhenti di lampu merah, netra Zelin tidak sengaja menatap sebuah restoran yang menyajikan makanan Korea. Seorang pria yang sangat ia kenali duduk di sana, bersama seorang wanita yang tidak ia kenal.
Pria itu, meskipun tidak benar-benar menghadap ke arahnya, Zelin bisa mengenali pakaian dan bentuk tubuhnya. Laki-laki itu jelas Om Alex. Lalu wanita itu siapa? Jangan bilang klien kerena dandanannya seperti selebritis dadakan.
Sialan
Apa Om Alex diam-diam punya pacar di belakangnya. Ini tidak bisa dibiarkan. Zelin tidak mau kecolongan seperti dulu dimana Om Alex nyaris menikah jika ia tidak menggagalkannya.
Tapi satu hal, Zelin terlanjur berjanji pada Alex untuk tidak bersikap bar-bar lagi. Ia berjanji jika ada masalah, harus dibicarakan baik-baik dan tidak boleh melibatkan polisi seperti dulu dimana Zelin memukuli teman kencan Alex hingga babak belur. Tapi jika seperti sekarang, otak Zelin sudah panas. Ia tidak tahan melihat Om Alex bersama wanita lain.
Dengan menahan seluruh egonya, Zelin melajukan mobilnya menuju apartemen. Ia harus sebisa mungkin berhenti mengacau agar Alex tidak semakin ilfil padanya. Tapi, jika sampai ketahuan Om Alex berbohong, awas saja, Zelin benar-benar akan mengacaukan hidup pria itu.
Untuk saat ini, ia memilih menahan egonya dan akan menanyai Alex nanti ketika pria itu pulang. Jika terbukti Alex berbohong, maka jangan salahkan Zelin jika ia akan mengobrak-abrik hubungan pria itu dengan siapapun teman kencannya, termasuk wanita yang saat ini tengah duduk di depan Om Alex-nya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hot Passion ( On Going )
RomanceSeumur hidupnya, Zelin hanya terfokus pada satu pria, yaitu Alex Ferdinand Hendarto. Sejak umur sembilan tahun, Zelin sudah menaruh hati pada pria yang seumuran dengan pamannya itu. Bukan hanya cinta, Zelin bahkan sudah menyerahkan tubuhnya pada pri...