Alex berjalan tegap menuju ruang rapat dimana Rafael dan Revan sudah menunggunya. Ada juga beberapa rekan bisnis lain yang juga ikut dalam proyek pembangunan vila-nya kali ini. Karena prospeknya lumayan menjanjikan, banyak yang berinvestasi di proyeknya kali ini.
Masuk ke dalam ruangan rapat, Alex yang didampingi sekretarisnya mendapati seluruh anggota rapat sudah hadir. Ia langsung masuk dan membuat para anggota rapat serempak menatap padanya.
"Selamat pagi semua. Maaf terlambat. Tadi sedikit macet di jalan." Terang Alex sambil mendudukkan dirinya di kursi, bergabung dengan para peserta rapat yang lain.
"Tidak terlambat juga. Mungkin kami yang terlalu rajin. Masih kurang sepuluh menit sebenarnya." Sambung Rafael sambil tersenyum tipis, Alex membalas senyum kemudian berdehem pelan.
"Baiklah semuanya, rapat bisa kita mulai sekarang." Sektretaris Alex membagikan gambar rancangan untuk vila yang akan mereka bangun. Rapat berlangsung lancar. Saat Alex mengungkapkan ide-idenya, tidak ada yang membantah atau menginstruksi. Semua mengangguk tanda menyetujui.
"Untuk pembuangannya, kau yakin tidak akan menjadi keluhan bagi penduduk sekitar? Karena aku pernah memantau proyek milik salah satu rekanku. Beberapa penduduk sekitar demo karena merasa terganggu dengan septic tank karena terlalu dekat dengan pemukiman. Ini seperti masalah sepele. Tapi bisa menjadi boomerang di kemudian hari."
Revan akhirnya bersuara setelah sedari tadi hanya menyimak. Alex yang mendengar itu tersenyum sesaat, kemudian kembali menjelaskan setelah memberi instruksi pada sekretarisnya agar menggeser gambar di layar.
"Saya sudah menyetel semuanya agar tidak sampai dekat rumah penduduk. Bisa di lihat di gambar, masih beberapa kilo jaraknya, jadi masih aman."
Revan mengangguk, peserta rapat lainnya juga terlihat menyukai konsep darinya. Hingga rapat berakhir semua peserta tampak sangat puas dengan idenya.
"Alex, aku sangat kagum padamu. Selain cerdas dan kompeten, kau juga sangat profesional. Aku benar-benar suka bekerjasama denganmu." Ucap Rafael setelah rapat selesai. Di ruangan hanya tinggal Alex, Revan dan Rafael karena peserta rapat lain sudah pulang.
"Memang dalam bisnis harus begitu Om. Saya tidak suka rekan bisnis yang licik. Jika mereka mengajak bekerja sama, saya pasti akan menolaknya meskipun memberikan keuntungan yang besar. Bagi saya itu lumayan berisiko. Mungkin satu dua kali akan untung, tapi saya yakin hanya tinggal menunggu waktu mereka akan menusuk saya dari belakang."
"Kamu benar. Saya lihat memang rekan-rekan bisnis kamu adalah orang-orang yang jarang bermasalah. Menghindari masalah memang lebih baik dari pada menyelesaikannya. Saya salut sama kamu."
"Pak Alex, saya permisi dulu." Revan yang sedari tadi diam tiba-tiba berdiri kemudian menyalami Alex dan pergi dari ruangan itu. Tidak mempedulikan keberadaan Rafael yang ada di sampingnya.
Meskipun hubungan mereka sudah lebih baik, Revan memang kerap bersikap dingin seperti itu pada Rafael. Dan kini Rafael tidak mau ambil pusing masalah tersebut karena Revan adalah ipar sekaligus suami dari keponakannya. Ia tidak mau mempermasalahkan hal sepele seperti itu karena bisa merusak hubungan keluarga mereka.
"Dia memang begitu. Entah kenapa hubungan kami selalu dingin meskipun kami sudah berdamai." Ucap Rafael kemudian, sedikit sungkan pada Alex dengan sikap tak acuh Revan tadi.
"Mungkin waktu yang bisa merubahnya. Tidak perlu diambil hati. Kita tidak bisa menuntut seseorang untuk menyukai kita." Sahut Alex netral. Meskipun sedikit banyak sudah mengetahui perselisihan Rafael dan Revan dari Zelin, Alex tidak ingin terlalu mencampuri urusan kedua orang itu.
"Kau benar. Aku suka cara berpikirmu. Hah, andai saja dulu kau yang menikah dengan Syafa. Sayangnya Syafa lebih memilih makhluk kaku itu. Syafa benar-benar dibutakan oleh cinta."
Alex tergelak mendengar perkataan Rafael yang seperti sudah pasrah dengan sikap adik iparnya itu. Meskipun berbagai cara ia lakukan, Revan sepertinya masih kurang bisa menerimanya. Laki-laki itu benar-benar pendendam padahal dirinya sendiri juga bajingan.
"Oh ya Lex, sebenarnya ini hanya pertanyaan simpel, tapi aku penasaran. Kenapa kau belum menikah sampai sekarang. Jangan bilang kalau kau tidak laku karena itu tidak mungkin. Kita semua tahu banyak sekali yang menyukaimu. Apa Syafa begitu memasuki hatimu hingga kau belum move on sampai sekarang?"
Jujur Rafael memang cukup penasaran dengan alasan Alex belum menikah sampai sekarang. Alex lebih dari sekedar mapan dan tampan. Alex memiliki semua yang diinginkan oleh wanita. Tapi kenapa belum menjatuhkan pilihan sampai saat ini.
Sementara Alex langsung tergelak mendengar pertanyaan Rafael. Pertanyaan seperti itu bukan pertama kali ia dengar. Sudah puluhan orang yang menanyakannya. Dan Alex cukup bingung harus menjawab apa jika ada yang bertanya to the point seperti Rafael.
Apa ia katakan saja bahwa putrinya yang menghalang-halangi Alex untuk menikah. Kira-kira bagaimana reaksi Rafael? Tapi itu sepertinya mustahil karena jika Alex bicara seperti itu, kemungkinan Rafael akan langsung membunuhnya.
"Sebenarnya hanya simpel Om. Belum ketemu jodohnya. Saya juga sudah move on sebenarnya. Tapi, entahlah. Jodohnya masih sembunyi di mana. Keluarga saya juga mendesak terus sebenarnya. Tapi ya, saya nggak mau memaksakan diri kalau soal jodoh karena pernikahan itu bukan lomba."
"Benar. Jangan maksain kalau belum cocok. Dari pada nanti menyesal di kemudian hari. Kamu ingat Zelin, anak Om yang paling kecil, yang dulu naksir berat sama kamu."
"Zelin, iya, saya ingat Om." Tentu saja Alex ingat. Gadis itu kini nyaris dua puluh empat jam bersamanya. Menguntitnya hingga ia nyaris tidak bisa bergerak.
"Kemarin kan teman kakeknya ada yang mampir ke rumah. Punya cucu dosen. Eh, kakeknya malah mau menjodohkan Zelin dengan dosen itu." Wajah Alex seketika muram mendengar cerita Rafael. Namun ia segera menutupinya dengan senyum hangat seperti biasanya.
"Zelinnya mau Om?"
"Ya belum tahu. Kakeknya masih diskusi sama aku dan Mas Salman. Kalau Om sih sebenarnya belum ingin menjodoh-jodohkan Zelin karena kamu tahu sendirilah watak Zelin itu bagaimana. Dia anak yang keras, dan sepertinya juga belum ingin menikah. Om nggak pengen dia tertekan kalau dijodohkan. Intinya Om nggak mau Zelin menikah karena tekanan atau apapun. Seperti kata kamu, pernikahan itu bukan lomba. Tapi ya, kakeknya tetep aja ngeyel. Orang tua kadang memang susah di kasih pengertian."
Alex tersenyum tipis, bingung juga harus menyahut apa. Di sisi lain, seharusnya ia senang jika Zelin menikah. Dengan begitu, gadis itu tidak akan mengganggunya lagi. Tapi, entah kenapa di sisi yang lain Alex tidak suka mendengar perjodohan itu. Entah apa sebabnya. Bukankah ia hanya menganggap Zelin sebagai hiburan semata.
"Ya sudah Lex, Om juga permisi. Mau ke kantor lagi. Masih banyak kerjaan di sana. Pulang telat sedikit saja, mamanya Zelin pasti sudah ngomel-ngomel." Rafael berdiri, kemudian menepuk pundak Alex yang kini juga ikut berdiri di hadapannya.
"Iya Om, hati-hati di jalan." Rafael mengangguk, kemudian meninggalkan ruangan rapat, menyisakan Alex sendirian di ruangan rapat itu.
Sepeninggal Rafael, Alex merenung sejenak. Membayangkan jika Zelin benar-benar menikah dengan pria pilihan keluarganya. Seharusnya mendengar itu Alex bahagia kerena Zelin tidak akan merecokinya lagi. Tapi kenapa ia malah gundah begini. Sepertinya ada yang tidak beres di otaknya. Shiiit. Alex harus segera bekerja kembali agar otaknya normal seperti sediakala dan tidak stres memikirkan Zelin yang sebenarnya tidak terlalu penting baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hot Passion ( On Going )
RomanceSeumur hidupnya, Zelin hanya terfokus pada satu pria, yaitu Alex Ferdinand Hendarto. Sejak umur sembilan tahun, Zelin sudah menaruh hati pada pria yang seumuran dengan pamannya itu. Bukan hanya cinta, Zelin bahkan sudah menyerahkan tubuhnya pada pri...