Chapter 2: 100 Tahun Kemudian

299 27 3
                                    

CW // bad mother figure;

Asterope, Kepulauan Pleiades

Genderang bertabuh, lonceng berbunyi, Alpheus menutup telinganya rapat-rapat. Dia tak ingin mendengar bagaimana orang-orang menyanyikan himne dan pujian untuknya, menyelamatinya untuk ulang tahunnya.

Ini adalah ulang tahun terburuk!

Ketika anak-anak mulai tumbuh pada usia sepuluh tahun, keluarga mereka akan menyalakan petasan dan memberikannya kue serta uang, atau bahkan memberikan mereka izin untuk berdiam sebentar di sekolah untuk bermain atau melancarkan hobi mereka.

Namun Alpheus harus mendapatkan posisi sebagai seorang putra mahkota. Mungkin itu bukanlah sepenuhnya kutukan, dia dapat ikut dengan ibunya dalam pemeriksaan dan rapat, mencatat hal-hal yang sangat dia sukai tentang dunia dan perdebatan. Tapi Alpheus benci bahwa takkan ada yang memandangnya sama kembali.

Ketika dia berada di kuil bersama ibunya, para pendeta menundukkan kepala, anak-anak yang seumuran dengannya terlalu takut untuk bermain bersamanya. Tidak akan ada yang bersedia untuk bermain pertarungan dengannya, bahkan sekedar mengenggam pedang kayu untuk melawannya.

Satu-satunya lawan yang dia miliki adalah sang ayah, pangeran agung, yang menurutinya setiap kali dia ingin berlatih pedang. Sementara ibunda ratunya berdiri di samping dan memperhatikan mereka.

Cantik dan anggun sekali ibunya, sang ratu. Namun Alpheus merasa bahwa dia terlalu kaku dan tak terlalu sayang padanya. Bahkan ketika dia memohon-mohon padanya untuk memberikan waktu hingga dia berusia lima belas tahun, ibunya tetap saja memintanya untuk menuruti aturan kerajaan mereka dan memintanya bersedia untuk dinobatkan.

Alpheus berjinjit untuk membuka pintu, memperhatikan dua orang pelayan yang lewat, keduanya tersenyum dan mengobrol sambil membawa buket bunga untuk vas. Dengan hati-hati, sang pangeran menutup kembali pintunya, meraih tongkat yang dia temukan dan mendorongnya ke gagang, menguncinya.

Lalu dia meraih jubahnya dan menyelinap pergi dari pintu pelayan.

Bebas!

Dia bebas!

🦚

Marcellus memperhatikan wajahnya di cermin, jubah ungunya sama persis dengan kakak-kakaknya, walaupun miliknya telah ditumpuk dengan brokat bersulam bebungaan aster – cocok untuk dipakai di acara-acara istana. Ibu angkatnya, sang pendeta agung, memilihkan pakaian itu hanya untuknya.

Dia tersenyum pada kakaknya, Adara, yang bersandar di pintu. "Berputarlah untukku," perintahnya, dan Marcellus menurutinya. Gadis itu tersenyum, membenahi kain yang sedikit kusut setelah dia berhenti. "Kau sangat ingin pergi ke istana ya?"

"Aku hanya ingin melihat-lihat," dia mengakui. "Hanya saja, Pendeta Agung tak memperbolehkanku."

Adara menghela nafasnya, menepuk pipinya dengan lembut. "Aku juga takkan mengizinkanmu," gumamnya. "Kau masih terlalu muda, Marcel."

"Tapi aku sudah berjanji–"

"Aku tahu," ucapnya. "Janji untuk tidak melenceng dari pandangan Pendeta Agung?"

Marcellus mengangguk.

"Untuk tidak menghilang begitu saja dari ruang singgasana?"

Dia mengangguk kembali.

"Untuk tidak melakukan apapun yang aneh?"

Sang adik memberinya anggukan mantap.

Adara tersenyum kembali, meraihnya dan mencium kepalanya, menimang tubuhnya di pelukannya. Marcellus membalas pelukannya – dia menyukai dekapan kakak-kakaknya. Ketika dia selesai belajar, ketika dia mencapai nada yang tepat saat menyanyikan pujian, ketika dia lelah dan ingin beristirahat.

Dance of the Rats • sunsun • end •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang