Jason menelurusi kalungnya, pikirannya berkecamuk semenjak Alpheus pergi bersama Draco, menghilang ke arah pepohonan dimana dia tak bisa mengikutinya. Dia tak bisa menemukan adiknya, yang dia yakin (atau berharap tidak) tengah bersama putri sang pemimpin serigala bayangan.
Dia menoleh ketika mendengar derap kaki terdengar di sampingnya. Marcellus masih mengenakan pakaiannya yang kemarin, duduk di atas kayu teras tepat di sampingnya. Bahkan di jarak seperti ini, dia menyadari betapa sang pendeta tengah menjauhkan diri dari segala hal – persis seperti sepuluh tahun yang lalu setelah dia menginjakkan kaki ke istana.
"Dimana Alpheus?"
Zika itu tersenyum kecil, menyadari rasa dekat antara temannya dan putra mahkota. Dia menunjuk pepohonan. "Bicara dengan mereka."
Dia menduga bahwa temannya akan berjalan menemui sang pangeran, namun justru duduk di sampingnya, menghela nafas. "Ada apa?" sahutnya, membuatnya menoleh. "Kau selalu terpikir sesuatu setiap kali memainkan kalungmu seperti itu."
"Aku–" dia menghela nafas, hangat dan dingin udara beradu di depan bibirnya. Dedaunan dan sulur beringin terasa lembut di jemari, peraknya bersinar. "Kau ingat saat aku baru tiba di Asterope?"
Dari sudut matanya, dia menangkap sekerling naikan sudut di bibir Marcellus. "Kau memaksa untuk kembali ke pelabuhan, memohon bahwa ada sesuatu yang harus kau tahu disana."
Jason ikut tersenyum kecil, memperhatikan tanah di bawah kakinya.
"Jadi aku mengendap membawamu pergi, tapi kau justru membiarkan kalungmu dicuri pada saat itu. Bahkan ketika Mama Agatha dan Adara membujukmu bahwa kau bisa membeli perak lagi saat mereka sudah cukup memiliki uang–"
"Aku tak mau," dia melanjutkan. "Ini–" bandul beringin terangkat. "Bukan hanya perak bagiku, Marcel. Kau tahu itu."
Dia melihat pendeta itu menurunkan pandangan, memperhatikan binar matahari yang dipantulkan oleh perak itu, mengangguk. "Kau tahu, terkadang tak berguna untuk menyimpan sesuatu yang membuatmu bergantung pada masa lalu."
"Kau mengatakan itu," ucapnya, menghela nafas. "Tapi aku tak sepertimu – aku tidak tiba-tiba muncul di depan kuil, Marcel. Aku memiliki kehidupan. Aku tahu aku memiliki itu sebelumnya, yang direnggut dari ingatan dan hatiku begitu saja. Kau–"
Jason menggigit bibir, memperhatikan Marcellus yang menatapnya. Dia mengenali tatapan penuh simpati itu semenjak dia datang ke pelabuhan – bahkan sebelum. Ketika seorang nahkoda mendapatinya mengapung di atas kayu dengan putus asa di laut lepas, awak-awak kapalnya menatap dengan mata penuh belas kasihan.
Ketika istri nahkoda itu membersihkan pakaiannya dan tidak mendapati sedikitpun jejak darimana dia berasal kecuali kalung yang bandulnya menggantung di leher hingga saat ini, juga rambut keemasan dan mata zamrud asingnya.
Dia membiarkan mereka memberinya nama yang baru, sebuah rumah yang baru, dengan orangtua yang baru. Jason kehilangan mereka semua di detik dia mengambang di lautan. Mungkin dia pernah berharap ada hiu yang memiliki belas kasih dan memakannya saja. Mungkin dia pernah memohon agar air akan membawanya ke peradaban.
Mungkin hidup Jason sekarang adalah doa orang lain agar dia jauh lebih aman.
Dan dia tahu bahwa Marcellus mungkin takkan memahami itu. Tidak ada bayi yang memahami rasa kebingungan ketika yang dia lihat begitu asing di hadapannya, ketika ingatannya dimulai ketika dia sudah mampu untuk berpikir. Tapi mungkinkah Marcellus juga memiliki pertanyaan sepertinya?
Dia memperhatikan bandul permata asing di leher temannya.
Mungkinkah Marcellus juga menyimpan kepemilikannya ketika lahir?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dance of the Rats • sunsun • end •
FanficDi bawah sinar rembulan, sang merak menutup mata. Nan indah dan tak sama, dunia 'kan berputar. Sang anak manusia 'kan datang bersama tandingannya: hati sebening permata yang tak pernah hilang. Di tengah kekacauan dan akhir dunia, sang makhluk abadi...