"Marcel," sebuah bisikan terdengar.
Terkadang itu seperti suaranya sendiri, mencoba menyadarkannya dari rasa pening di kepalanya. Ketika dia membuka matanya, dia dapat melihat dirinya sendiri dari tempat dia berlutut, jubahnya ungu gelap sementara mahkotanya adalah daun dafnah emas.
"Aster," bisiknya.
Sang raja tersenyum. "Butuh waktu lama bagimu untuk menemuiku."
Dia menatap pantulan dirinya sendiri. "Aku tak mengerti," bisiknya, menoleh ke arah sekitarnya. Dia tengah berada di kuilnya, seperti ketika dia berdoa setiap pagi. Namun sang dewa tengah berada tepat di depannya — tanpa berhala, utuh penuh daging dan darah selayaknya manusia.
"Dengarkan aku," mulainya, berjongkok untuk mensejajarkan pandangan mereka. "Emrys telah mengambil Darius, dia mengambil permata itu dari kalian."
"Apa?"
Apa yang terjadi setelah Emrys melontarkan sihir itu pada mereka?
Bagaimana bisa dia segera tak sadarkan diri?
"Alpheus–"
"Dia membawanya," ucapnya. "Bahkan dengan hidupnya yang berganti, takdirnya tak berubah. Dia memegang kekuatan Darius di dalam dirinya. Jika Emrys membangkitkannya, kita akan kehilangan dia kembali."
Tidak.
Dia tak ingin–
"Aku memahami perasaanmu," ucap Aster. "Aku pun begitu."
"Bagaimana cara kita menghentikannya?"
"Kau harus mengambil permata itu kembali."
Dia mengerutkan dahi. Permata kembara akan berada di dahi sang merak surgawi — mengambilnya sama dengan mengambil nyawa makhluk abadi tersebut. Alpheus akan mati jika dia melepaskan permatanya.
Tapi dia memahami Aster. Di saat-saat singkat Darius sebagai sang merak surgawi, Emrys berusaha merampas permata itu dari dahinya. Jika permata itu jatuh ke tangan mereka, Darius mungkin akan mendapatkan kembali kesadarannya.
Namun Aster menggelengkan kepala, seolah ikut mafhum tentang apa yang dia pikirkan. "Kau harus menghancurkan permata itu." Mata Marcellus membulat. "Hancurkan," desaknya. "Dan rusak takdirnya."
"Aku tak mengerti. Alpheus akan–"
Dia menelan ludah, tak sanggup untuk mengatakannya. Menyebutkan kata itu seolah memberinya petunjuk bahwa itu akan segera terjadi. Bahwa dia takkan mampu melakukan apapun untuk mencegahnya.
"Kau adalah aku, Marcellus," mulai sang dewa. "Untuk saat ini, kau harus menunjukkan pilihanmu. Orang banyak–"
Tidak.
Dia tak ingin.
Dia bukanlah seorang raja.
"–atau dia."
🦚
Marcellus membuka mata, nafasnya tertarik keras dan dia bangkit dari ranjang yang dia tiduri, kepalanya menabrak sesuatu yang keras dan Ajax mengaduh, menyentuh keningnya sendiri.
Dia dapat melihat laki-laki itu, mengernyit pedih sementara seorang perempuan beranjak ke arahnya, mengusap dahinya tersebut. Pendeta tersebut terdiam, mengenali ruangan tersebut, juga gadis yang bersama temannya.
"Daphne," panggilnya, membuatnya menoleh. "Apa yang kulakukan disini?"
Dia mengingat bahwa dia tengah berada di padang rumput bersama Alpheus. Mereka begitu bahagia — melepaskan diri dari kerajaan dan takdir. Hanya mereka berdua. Namun dia merasakan lehernya ringan, merasakan bandul yang seharusnya berada disana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dance of the Rats • sunsun • end •
أدب الهواةDi bawah sinar rembulan, sang merak menutup mata. Nan indah dan tak sama, dunia 'kan berputar. Sang anak manusia 'kan datang bersama tandingannya: hati sebening permata yang tak pernah hilang. Di tengah kekacauan dan akhir dunia, sang makhluk abadi...