Chapter 8: Aster Kering

178 17 16
                                    

cw // kiss; make out; implied infidelity; 

Asterope, Kepulauan Pleiades

Marcellus berjalan keluar dari ruangannya, bersiap untuk berdoa pagi. Itu adalah kebiasaannya semenjak dia masih muda. Pendeta-pendeta kecil yang lain masih diizinkan untuk tidak mengikuti doa pagi di aula kuil, namun Marcellus tak memiliki kebebasan seperti itu. Mungkin karena ibu angkatnya adalah sang pendeta agung. Mungkin itu karena dia dibedakan dari yang lainnya.

Dia tersenyum kecil ketika melihat Alpheus telah berlutut di depan berhala, matanya tertutup khidmat. Marcellus telah melihatnya di pagi hari berkali-kali. Ketika pangeran itu menyelundupkannya ke ruangannya di dalam istana, atau ketika mereka berbaring di atas rerumputan hingga matahari terbit.

Namun tak ada yang menyaingi keindahannya ketika dia berlutut dengan bunga aster di dahinya.

Pandangannya pada Alpheus tak pernah berubah – anggun dan dewata; jauh dari jangkauan. Rasa syukur dan tak percayanya bertabrakan satu sama lain setiap kali dia mendekapnya. Apa yang pendeta tanpa asal usul ini lakukan di masa lalunya hingga dia bisa bersama pangerannya?

Perlahan, Marcellus berdiri di sampingnya, bunga aster tertempel di dahi sebelum berlutut, menutup mata. Ada sebuah perasaan intim yang dia rasakan setiap kali dia berdoa bersama orang-orang terdekatnya – sebuah koneksi tertinggi dimana mereka mengizinkannya berlutut di samping mereka.

Namun bersama Alpheus, hal itu berbeda sama sekali.

Seperti sebuah perasaan dimana dia yakin bahwa mereka akan terus bersama.

Dewa Aster menatap dan mengawasi mereka – mereka akan baik-baik saja.

Dia membuka mata tepat ketika pangeran itu menatapnya, tersenyum. Dan Marcellus menahan diri untuk tidak meraih tangannya. Alpheus mengangkat tubuhnya, berdiri. Pendeta itu mengikutinya. Dia memberinya sebuah penghormatan sebelum berjalan pergi, keluar dari kuil.

Yang sangat Marcellus pahami.

Dia menoleh pada berhala di depannya, tersenyum dan memberikan penghormatan, sebelum berlari mengejarnya.

Alpheus menunggunya tak jauh di sebuah lorong-lorong sempit tersembunyi. Ketika dia pertama kali menemukan tempat itu, rasa takut sedikit menjalar padanya, merasa bahwa akan ada seseorang dengan niatan buruk datang dan mengancam sang pangeran. Namun ketika dia membawanya lagi kemari, Marcellus merasa bahwa takkan ada yang mengusik mereka.

Pangeran itu memiliki efek padanya – dia bisa melupakan dunia dimana dia tinggal dan tenggelam di dalam amber di balik irisnya, membara di dalam dekapannya.

Alpheus tersenyum padanya, sudut-sudut naik bibirnya terasa ketika dia menciumnya. Marcellus meletakkan kedua tangan di sisi-sisi wajahnya, meraih wajahnya untuk terus mengecup bibirnya. Sang pangeran menariknya mendekat, membuatnya menghimpitnya di dinding.

Pendeta itu mengusap rambutnya, menyingkirkan beberapa dari dahi. "Selamat pagi."

Alpheus tertawa pada sapaannya. Dia menunduk untuk memainkan tali jubah Marcellus, pitanya ungu muda seperti brokatnya. Dia mengecup pita itu, dan dada yang lebih tua merasa akan meledak karena kehangatan.

Dia meraihnya untuk memeluknya, dengan hati-hati tidak terlalu menghimpitnya di dinding. Alpheus terlalu kecil dalam dekapannya, lembut dan hangat hingga dia merasa bahwa dia akan melukainya jika lengannya melingkar terlalu keras.

Pangeran itu beraroma seperti mawar, sangat menarik baginya karena dia memiliki rambut kemerahan. Di bayangannya, Alpheus seperti mawar berjalan yang walaupun durinya menancap, akan terus dia dekap.

Dance of the Rats • sunsun • end •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang