Chapter 11: Pelarian Sang Pangeran

140 15 1
                                    

Marcellus membantu beberapa orang masuk ke dalam kuil, menuntun para orang tua dan anak-anak sebelum menyerahkan mereka pada kakak-kakak pendetanya. Perang yang berkecamuk berarti adalah para rakyat yang mengungsi – hiruk-pikuk dan ribut di dalam kuil akan terjadi hingga mereka membawa sisanya ke pegunungan.

Pikirannya buyar pada apa yang mungkin terjadi di istana dimana Alpheus berada. Dia percaya bahwa keluarga kerajaan memiliki kekuatan lebih untuk melindungi diri mereka, namun fakta bahwa dia tak melihatnya membuatnya sedikit sesak.

"Marcel," dia menoleh, memperhatikan Calliope yang rambutnya berantakan, sementara gaunnya sedikit kotor karena tanah dan debu. "Pendeta agung memanggilmu."

Marcellus mengeratkan genggamannya pada kursi yang dia genggam, berbalik pada seorang anak yang dia bantu untuk naik dan duduk sebelum beranjak pergi.

Sementara kakinya sendiri membawanya ke ruangan dimana ibu angkatnya berada, tubuhnya berubah kecil dan kecil, hingga dia merasakan dirinya berubah menjadi seorang anak berumur lima tahun, Adara menggandeng tangannya untuk memperkenalkannya pada ibunya. Seharusnya dia sudah merasa bahwa mereka takkan pernah dekat saat itu, mengingat bahwa Ophelia Sideris enggan untuk melihatnya ketika dia masih bayi sekalipun. Membuatnya semakin tak mengerti tentang kenapa dia mengangkatnya sebagai putranya.

Dia ingat bagaimana dia menatapnya dengan penuh harap, kata ibu begitu asing di lidahnya ketika wanita itu menatapnya di balik meja.

Marcellus ingat rasa gemetaran yang dia rasakan.

"Dia adalah ibu angkatmu," ucap Adara saat itu. "Berikan salam padanya."

Namun sang pendeta agung tak menunggu ucapannya. "Kau bisa memanggilku seperti pendeta lain pada pendeta agungnya. Kau akan memakai nama belakangku dan hanya itu."

Bahkan dia dapat menyadari tatapan kecewa dari kakaknya. "Ophelia–"

"Bawa dia pergi, Adara," perintahnya. "Aku memiliki banyak hal untuk dilakukan."

Marcellus menutup mata, mengibaskan ingatan itu dari pikirannya. Apa yang terjadi selanjutnya di kehidupan masa kecilnya tidak bertambah buruk, namun juga tak bertambah baik. Dia melanjutkan baktinya di kuil, dimana dia berharap bahwa ibu angkatnya akan melihatnya sedikit saja, atau bahkan menyisakan sedikit rasa bangga setiap kali dia memimpin pujian.

Namun tidak.

Yang harus diterima olehnya adalah bagaimana dia tak pernah memiliki orang tua. Bahwa satu-satunya ibu yang dia kenal adalah ibu yang tak memberikan sedikitpun rasa peduli padanya. Bahwa dia harus memiliki arti lain dalam hidup karena dia tak mampu menemukan dirinya di tempat dimana dia seharusnya menerima cinta untuk pertama kalinya.

Perlahan, dia mengetuk pintu, membiarkan sayup suara Ophelia untuk mempersilahkannya sebelum dia membukanya.

"Kau memanggilku, Yang Terhormat?"

Sang pendeta agung mengenakan gaun ungu gelapnya, brokat yang menjadi jubahnya adalah ungu muda dengan bercak bebungaan aster. Di tangannya adalah sebuah kalung, permata putihnya tajam dan bersinar, rantainya melingkar di genggaman.

Marcellus menghindari tatapannya. "Orang-orang sudah berkumpul, mereka akan segera dikirim pergi."

"Aku tak memanggilmu karena itu," ucapnya, membuatnya diam kembali. Ibu angkatnya menghela nafas, mengalihkan pandangan pada jendela, dimana kapal-kapal terlihat. Di sudut pandang ini, perang tampak begitu jauh. "Putra mahkota, apa dia aman?"

"Putra mahkota–" bisiknya. "Dia seharusnya aman. Dia berada di istana sekarang."

Dia melihatnya menutup mata. "Tidak cukup," bisiknya, membuatnya mengerutkan dahi. "Itu tak cukup."

Dance of the Rats • sunsun • end •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang