Chapter 14: Apel Emas

127 15 4
                                    

cw // child funeral; arranged marriage; witchcraft

Charles meletakkan sisir yang tadinya baru saja dia gunakan, matanya berkilat di depan cermin dimana dia dapat melihat akar-akar keemasan tumbuh di bawah hitam, seolah mengingatkan bahwa tak ada yang bisa dia tutupi semudah apapun itu. Dia membawa dirinya jauh di dalam ingatan, ketika Louis dengan penuh kebahagiaan menawarkan untuk menyisir rambutnya.

"Aku suka rambut emasmu."

Saat itu, Charles akan tersenyum. "Kau juga memilikinya, Louis."

Dia menghela nafas. Bahkan hingga kapanpun itu, Louis akan terus menjadi kekurangannya – sesuatu yang mampu mematahkan prinsip dan pedangnya. Sesuatu yang akan selalu digunakan untuk mengancamnya. Sesuatu meyakinkannya bahwa akan lebih baik jika dia sirna di pulau itu, bahwa dia akan menjadi tak terkalahkan ketika satu-satunya titik kematiannya hilang begitu saja.

Charles Hornsby takkan kehilangan apapun untuk mendapatkan segalanya.

Tapi apakah dia mampu menanggung beban akan cintanya yang hilang begitu saja di dalam gulungan ombak dan pulau tahanan terpencil? Apakah dia mampu menghadapi Louis ketika dia berada di keabadian nanti – jikapun jiwanya yang tak lagi suci dan penuh rasa dendam ini akan diizinkan untuk naik?

Memiliki kelemahan adalah sifat manusia – sayang sekali karena Charles merasa bahwa dia tak lagi mengemban gelar itu. Begitu banyak yang mati atas namanya. Begitu banyak rumah dan keluarga yang dihancurkan. Semua atas perintahnya.

"Aku melihat seseorang yang seharusnya disandera sudah kembali."

Dia menoleh pada bayang-bayang, dimana udara berdenyar dan Robert memunculkan diri. Charles menghembuskan nafas sebelum beralih pada jendela, berjalan ke arahnya. Di sepinya jalanan, siluet jubah keemasan terang benderang, di sampingnya adalah satu yang berjalan mengikutinya.

"Aku akan mengirim orang untuk menjemputnya."

"Tidak," ucapnya, membuat penyihir itu menaikkan alis. "Aku akan menjemputnya."

🦚

Jason memperhatikan jalanan yang dipenuhi obor. Beberapa keluarga meringkuk di sisi-sisi dinding yang belum hancur, saling menghangatkan satu sama lain, sementara yang lain berada di sisi mereka sendiri, menangis sambil memeluk kain-kain putih. Sever pasti telah menghentikan serangan mereka, namun orang-orang ini takkan mendapatkan keluarga mereka kembali.

Dia menoleh pada sang putra mahkota, yang berjongkok di depan seorang anak laki-laki kecil, topi beretnya lusuh dan penuh debu, dalam timangannya adalah sebuah gulungan putih. Alpheus meletakkan tangan di atas buntalan itu.

"Ini adikku," anak itu menjelaskan. "Yang Mulia, ayah dan ibuku tak kembali, dan aku tak berani pergi ke pemakaman sendirian–"

Jason mengalihkan wajah, berkedip untuk menahan air matanya.

"Apa kau–" dia menundukkan kepala. "Bisa menemaniku memakamkannya?"

Alpheus sudah hendak menganggukkan kepala sementara tangannya terulur padanya ketika sebuah suara muncul di belakang. "Punya ruang untuk satu orang lagi yang melayat?"

Jason berbalik. Anak tersebut mundur, memeluk adiknya, dan sang pangeran merentangkan tangan untuk menutupinya, berdiri. Seorang laki-laki dengan jubah hitam berdiri di depan mereka, menilingkan kepala. Dan sekilas, Jason dapat merasakan rasa familiar ketika melihatnya. Walaupun dia sulit untuk mengingat dimana dia pernah melihat rambut hitam dengan akar keemasan itu.

"Pintar sekali, memutuskan untuk turun ke jalanan," tegur sang pangeran. "Kau tak takut ada yang memukulimu untuk balas dendam?"

"Siapapun yang menyentuh bahkan ujung jubahku pun akan menjelaskan diri mereka di ruang singgasana. Aku yakin sekali mereka tak menginginkan darah mereka menjadi pembersih lantai."

Dance of the Rats • sunsun • end •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang