Chapter 16: Bayang Cinta yang Lalu

120 13 14
                                    

cw // imprisonment; mention of infidelity;

Charles terus berlari, merasakan tubuhnya semakin membesar secepat lorong-lorong rumahnya berganti, berdenyar dan obor menghapuskan dinding-dindingnya menjadi dinding milik istana Asterope. Di depannya adalah seorang anak laki-laki, rambut keemasannya menjadi satu-satunya yang bisa dia lihat ketika dia mengejarnya.

Hingga dia mendapati dirinya berhenti di depan sebuah dinding –ujung mati yang tak bisa dia jelajahi kembali. Sebuah jam besar berada di depannya, dan dia dapat melihat jarum panjang berhenti di angka tujuh, sementara yang kecil terus bergerak – jarum detik merah dan mati.

"Charles," panggil seorang anak dan dia berbalik. Bocah tersebut berdiri di depannya, mengedipkan kedua mata padanya, menampakkan hijau di depan. "Apa kau sudah melupakanku?"

"Louis–" dia merasakan nafasnya sendiri tercekat, menggelengkan kepala. "Aku takkan pernah melupakanmu."

Charles melihat anak tersebut mengeluarkan wajah murungnya, sebuah ekspresi dimana bibir bawahnya dimajukan sementara matanya mulai basah karena air mata – itu adalah sebuah wajah yang selalu dia rindukan ketika mengganggunya.

"Louis–"

"Kau tak mengingatku," ucapnya. "Kau tak mengingatku."

Charles merasakan dirinya ingin memohon, mengulurkan tangan hanya agar dia dapat memeluknya erat, memaksa tubuhnya untuk mengimbanginya – tak lagi tumbuh, tak lagi dewasa. Apapun agar Louis melihatnya lagi. Namun bayang-bayang anak tersebut hilang begitu saja, menyisakan gelap lorong dan jam yang terus berdetak.

"Tuan Hornsby?" Charles berbalik kembali. Di depannya, Jason Zika berdiri, rambut keemasan dan mata hijaunya menatap balik padanya, kontras dengan emas dan hitam di wajah dan kepalanya. "Apa yang kau lakukan disini?"

Charles membuka mata. Dia seharusnya sudah terbiasa dengan sunyi malam, beberapa hewan pengerat keluar dan menunjukkan keberadaannya, sementara bersembunyi dari kejaran kepak bisu burung hantu dan cakar kucing.

Lord tersebut mengusap kepalanya, menghela nafas. Bantalnya telah basah karena keringat dan dia begitu enggan untuk merebahkan dirinya kembali. Jadi dia bangkit, meraih pakaiannya dengan hati-hati dan beranjak keluar.

Lorong ketika dia keluar dari ruangannya memberikan hawa dingin mencekam ketika dia mengingat bagaimana mimpinya, namun Charles tak mengindahkan apapun, berlanjut menuju dimana dia dapat melihat cahaya yang setidaknya dapat menenangkannya.

Tak jauh di sebuah balkon, dia dapat melihat Jason bersandar disana, sebuah botol di tangannya. Mata hijaunya memperhatikan bulan gelap malam itu, entah bersembunyi di balik awan atau enggan menampakkan diri.

"Kau belum tidur?"

Zika itu berbalik, sedikit sempoyongan hingga dia hendak mengulurkan tangan untuk membantunya, namun dia mengangkat tangan, mengeluarkan sedikit tawa. "Aku baik-baik saja," ucapnya. "Aku tak bisa tidur."

"Dan minum alkohol?"

"Aku tak minum banyak," dia membela diri, beringsut untuk menutupi botol-botol kosong di bawah kakinya. "Yang Mulia pangeran memintaku untuk menjadi pelayannya."

"Kau keberatan soal itu?" tanyanya. "Kukira dia adalah temanmu."

"Alpheus – dia mengizinkanku untuk memanggilnya begitu," mulainya. "Alpheus adalah temanku, cinta temanku – tentu saja. Tapi itu tak penting. Kalian akan menikah, temanku tak penting."

"Teman yang mana?"

Jason tertawa, menggelengkan kepala, bersandar di balkon. "Takkan kuberitahu," ucapnya. "Aku takkan membuat masalah antara kalian berdua."

Dance of the Rats • sunsun • end •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang