CW // portal teleportation; shapeshifting;
Alpheus memainkan gantungan pada jendela tirainya, memperhatikan kereta yang lalu lalang pergi dari istana. Pasti beberapa bangsawan yang ingin memberikan salam pada sang ibu – dia sangat beruntung bahwa dia dapat pergi dari ruang singgasana begitu saja.
Menunggu Marcellus serasa seperti menunggu sesuatu yang tak pasti. Dia tak tahu jika Perdix akan menemukannya, atau bahkan, jika dia menemukannya, dia tak tahu apa yang akan anak itu lakukan – menerima undangannya atau menolak. Dia seharusnya tak berharap banyak setelah dia memintanya untuk tidak mencarinya.
Namun sebuah kereta kuda berderap masuk dari gerbang, yang sangat dia kenali sebagai miliknya. Kereta itu putih dengan sarat keemasan, kedua kudanya berwarna coklat dan sehat, mendengus ketika berhenti.
Alpheus beranjak dari sofa di depan jendelanya, melepaskan jubah keemasannya dan menggantungnya di tempat lain, juga melepas tiara melingkar yang dia kenakan. Apapun yang Marcellus kenakan, dia takkan bisa mengimbangi jubah kebesaran dan simbol pewaris tahtanya. Alpheus harus menjadi orang yang mengimbanginya.
Hanya saja, pangeran itu tak menduga bahwa dia akan datang dengan jubah brokat ungu dari Kuil Aster. Walaupun dia seharusnya tahu dari nama belakangnya.
Dia tersenyum ketika pintu terbuka. "Halo, Marcellus."
Pendeta kecil itu menundukkan kepala, menekuk jemarinya dengan simbol yang dia kenali sebagai penghormatan. "Yang Mulia."
"Aku harap aku tak memberimu beban ketika memintamu datang kemari."
"Tidak sama sekali."
Binar mata Marcellus sedikit mengatakan bahwa dia berbohong, namun Alpheus harus membiarkannya tanpa mengucapkan apapun.
"Oh," ucapnya, seolah teringat sesuatu, dan mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Di dua tangannya adalah segel yang dia berikan pada Perdix – sebuah pertanda bahwa tugasnya telah selesai. "Segelmu."
Alpheus menerimanya. "Terima kasih karena sudah datang."
"Aku menduga bahwa aku meninggalkan kesan. Jika tidak, kau takkan memanggilku kemari."
Pangeran itu merasakan dirinya memerah, mengalihkan pandangannya. Tentu saja Marcellus meninggalkan kesan, walaupun itu seharusnya tak sedalam yang dia miliki sekarang. Dia terbiasa pada orang-orang yang menundukkan kepala padanya, dan pendeta kecil itu justru memperlakukannya seperti teman.
Dia mengikutinya ke sofa dekat jendela. Ketika Alpheus berbaring di atas sofa, Marcellus mempersilahkan dirinya sendiri duduk di lantai, menyandarkan kepala di dudukan sofa tersebut. Pangeran itu membiarkannya.
"Aku hanya tak ingin sendirian," dia mengakui. "Kau bersedia menemaniku disini 'kan? Aku akan membutuhkan teman belajar dan berdoa, ketika aku pergi ke kuil, kau bisa memberkatiku."
"Aku–" dia terhenti. "Aku belum cukup umur untuk memberkati siapapun."
Alpheus berkedip, tak pernah terbesit di benaknya bahwa pendeta yang masih muda tak diperbolehkan untuk memberkati. Mungkin itu adalah alasan kenapa yang lainnya selalu berada di usia tujuh belas tahun ke atas.
"Aku hanya membantu membersihkan barang disana," dia menjelaskan. "Menyiram bunga, menggosok berhala, membersihkan perpustakaan."
"Lalu di umur berapa kau bisa memberkati seseorang?"
"Enam belas tahun nanti," jawabnya. "Lima tahun lagi."
Alpheus mengangguk, tiba-tiba terpaku akan rambut hitam legamnya, mengulurkan tangan untuk menyentuhnya. "Maaf," bisiknya ketika dia berjengit. "Aku hanya tak pernah melihat rambut seperti ini dari dekat."
![](https://img.wattpad.com/cover/360249416-288-k852778.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dance of the Rats • sunsun • end •
FanficDi bawah sinar rembulan, sang merak menutup mata. Nan indah dan tak sama, dunia 'kan berputar. Sang anak manusia 'kan datang bersama tandingannya: hati sebening permata yang tak pernah hilang. Di tengah kekacauan dan akhir dunia, sang makhluk abadi...