4

59 8 2
                                    

"J-jangan tinggalkan aku Nona." suara serak dan air mata yang berderai kembali dilihat Eliza.

"Ke-kenapa Nona pergi sangat lama sekali?" Eliza tersadar dengan perkataan Ran. Benar ia sudah lama tidak kembali ke rumah ini.

"Maafkan aku Ran." Eliza membalas pelukan Ran, setelah sedikit tenang ia membantu Ran untuk berbaring di ranjangnya.

"Apa kamu meminum obatmu dengan teratur?" Ran mengangguk lemah.

"Kenapa belum sembuh juga, dan apa ini?" Eliza mengusap bekas darah disekitar mulut Ran. Ran memalingkan wajahnya.

"Tidak apa-apa." jawab Ran pelan.

Ran kembali batuk hingga kembali mengeluarkan darah membuat Eliza panik. "Rui." panggil Eliza.

Rui segera datang. "Ada apa Nona?"

"Sejak kapan Ran batuk darah?" Eliza mengambil peralatan dan mulai memeriksa Ran.

"Setelah kepergian Nona." jawab Rui dengan sendu.

"Apa obatnya tidak bekerja pada naga?" Rui mengangguk ragu.

"Sepertinya begitu Nona."

Eliza menatap Ran khawatir. "Apa ada seseorang yang bisa membantu?"

"Saya akan meminta bantuan roh hutan Nona, tunggu sebentar Nona." Rui segera berlari keluar.

Eliza duduk di pinggir ranjang, mengelus perlahan dada Ran. "Bernapaslah dengan pelan."

Entah kenapa elusan di dadanya membuat Ran merasa tenang dan mengantuk. Tangannya meraih tangan Eliza, menggenggamnya lalu terpejam dengan napas yang mulai teratur.

Beberapa menit kemudian Rui datang dengan roh hutan berwujud singa.

"Silakan masuk." Eliza dengan sopan mempersilakannya mendekat.

"Aku tidak pernah melihat roh yang seperti ini."

"Apa maksud anda? Apa Ran tidak bisa disembuhkan?" Singa itu menggeleng.

"Aku tidak tahu, anda bisa mencobanya dengan menjauh darinya. Kemungkinan energinya berkurang saat berada didekat manusia. Itulah sebabnya dia sakit."

"Begitukah.." jadi ini penyebab Ran semakin parah?

"Kalau begitu terima kasih untuk sarannya." aku membungkuk sopan pada singa itu yang kini mulai berjalan meninggalkan ruangan bersama Rui yang mengantarnya.

Eliza kembali duduk di pinggir ranjang, mengelus surai hitam itu. "Aku tidak tahu kalau aku penyebab kamu sakit seperti ini Ran."

Eliza mengecup pelan dahi Ran. "Maafkan aku." lalu berlalu pergi meninggalkan rumah itu.


...

Seekor naga terlahir di dalam sungai sedikit jauh dari pemukimam warga. Kedua orangtuanya sudah meninggal dibunuh warga setempat karena dianggap pembawa sial dan dibuang didalam sungai bersama telur mereka. Di sela kelahiran naga air sungai menjadi hitam dan berbau busuk. Sosok naga hitam itu keluar dari sungai dan tanpa sengaja melihat seorang anak kecil berjalan melewati sungai bersama ibunya. Perlahan sosok naga hitam itu berubah menjadi wujud seperti anak yang dilihatnya. Kakinya yang tanpa alas perlahan menginjak tanah yang terasa kering. Rasanya aneh.

Anak laki-laki itu terus berjalan menyusuri hutan hingga ia tiba dipemukiman warga. "Au nak, kamu kenapa?" seorang nenek menghampirinya dengan wajah khawatir.

"Aku tidak apa-apa." anak laki-laki itu menatap polos nenek itu dengan rambut panjang tanpa sehelai baju.

"Apa kamu habis kerampokan? dimana bajumu?" anak itu menggeleng.

"Bagaimana dengan kedua orangtuamu?" lagi-lagi anak itu menggeleng, ia tidak tahu.

"Ayo ikut ke rumah nenek." anak itu menurut saja. Sesampainya dirumah sang nenek, anak laki-laki itu dimandikan dan dipakaikan baju layak.

"Anak tampan. Nenek tinggal sendiri disini jadi sekarang kamu jadi cucu nenek ya." Anak itu mengangguk dan dihadiahi pelukan hangat sang nenek.

Hanya selama sebulan anak laki-laki itu mendapat perlakukan hangat dan makanan yang layak, sebelum sang nenek jatuh sakit dan meninggal membuat anak laki-laki itu harus kembali hidup sendiri.

Di waktu yang berdekatan wabah kelaparan menyerang pemukiman itu. Tidak ada hujan wabah hama menyerang ladang mereka, hingga membuat mereka perlahan meninggal. Pemukiman ini jauh dari keramaian sehingga penyaluran makanan dari kerajaan tidak sampai ke mereka. Hingga suatu hari seorang mengatakan jika dewa tanah marah karena tidak ada sesaji yang layak.

"Bukannya kita selalu memberikan setidaknya satu hewan sebagai tumbal?" seseorang menyeletuk.

"Itu tidak berguna." seseorang itu menjawab.

"Jadi apa yang harus kami tumbalkan?" seseorang itu berwajah penuh arti.

"Seorang manusia pembawa kesialan." semua warga berbisik, siapa pula penduduk disini yang membawa sial.

"Anak itu!"





....

Tbc
January 30, 2024
21.49 WIB

I'm On EdgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang