10

22 4 0
                                    

"Apanya yang berbeda?" nada Taishi sedikit meninggi.

"Sekarang anda seorang Raja negeri ini. Jadi sepatutnya saya menghormati anda." Soo Hee terlihat tidak terpengaruh dengan perubahan nada Taishi.

Taishi terdiam beberapa menit mencoba menetralkan amarahnya. "Besok aku akan menikahimu, jadi persiapkan dirimu." kalimat itu membuat Soo Hee melebarkan matanya.

"Itu tidak boleh terjadi Yang Mulia, kita ini saudara jika anda lupa."

"Tidak akan ada yang menentang karena aku Raja mereka sekarang."

"Tapi langit akan mengutuk negara ini jika anda melakukannya."

"Kita akan melewatinya bersama."

"Anda sudah gila." Soo Hee berucap tertahan dengan penuturan Taishi.

"Itu karena kamu."

....

20 tahun yang lalu, seorang Raja memiliki satu ratu dan beberapa selir. Ratu dan 2 selir lainnya melahirkan seorang putra dan sisa selir melahirkan seorang putri. Dua diantara ketiga putra mahkota saling berebut tahta, yaitu Taishi, Yuki dan Yuji. Taishi adalah putra dari sang ratu, sang ibu tidak memaksanya untuk menjadi penerus ayahnya, ia dibebaskan memilih. Taishi lebih tertarik dengan dunia diluar negaranya, tapi dua putra mahkota lainnya beranggapan Taishi adalah saingan terberat mereka karena ia lahir dari rahim sang ratu dan Taishi terkenal dengan kecerdasannya. Berbagai cara dilakukan oleh orang-orang yang ingin menyingkirkan Taishi. Hingga suatu hari saat sang Ratu meninggal dunia dengan mendadak, membuat Taishi semakin dibuat sengsara oleh saudara lainnya. Hari itu Taishi dikurung di sebuah gudang  oleh saudaranya setelah mereka membuat babak belur Taishi. Beberapa hari disana tanpa diberi makan dan minum, ia harus tetap hidup untuk mencari tahu kematian sang ibu yang mendadak. Ia tidak boleh mati disini. Tidak Boleh!

Taishi berusaha bangkit tapi tenaganya sudah mencapai batas, bahkan suara samar-samar yang terdengar ditelinga seakan menggema tidak jelas. Di pandangannya yang mulai memburam Taishi masih bisa melihat siapa yang membuka pintu gudang, seorang anak perempuan dengan pakaian berwarna biru muda memasang wajah panik mendekat padanya.

"Putra mahkota." paniknya anak perempuan itu saat menemukan putra mahkota tergeletak tak berdaya.

Dengan tubuhnya yang kecil, anak itu berusaha memapah Taishi keluar dari sana. "Tolong jaga kesadaran Putra Mahkota." Taishi menuruti ucapan anak itu.

Untungnya ditengah perjalanan mereka menuju kamar Taishi seorang prajurit melewati mereka, sehingga anak perempuan itu meminta bantuan padanya.

"Biar saya saja yang menggendong Putra Mahkota, Putri." anak itu mengangguk lalu menyerahkan Taishi padanya. Ia mengikuti prajurit itu dibelakangnya.

"Paman, tolong obati Putra Mahkota." seorang tabib yang dipanggil paman oleh anak itu segera mendekat dan memriksa keadaan Taishi.

"Putra Mahkota dehidrasi dan kekurangan gizi Putri. Saya akan membuatkan obat dan salep untuk diolekan ke tubuh beliau." Anak itu mengangguk dan berjalan menuju dapur istana.

"Putri biar saya saja yang melakukannya." pelayan yang dikhususkan untuknya mencegah anak itu masuk ke dalam dapur.

"Kalau begitu ijinkan aku membantu membawa satu." sang pelayan mengangguk, ia tahu bagaimana keras kepalanya sang Nona.

Setibanya kembali diruangan Taishi, tabib itu masih disana dengan beberapa obat herbal racikannya.

"Putra Mahkota belum sadar Paman?" tanya anak itu.

"Belum Putri." anak itu mendekat memerhatikan keadaan Taishi yang malang yang sekarang menutup matanya.

Tangan kecilnya mengelus dahinya Taishi yang berkerut dalam tidurnya. "Tenanglah, sekarang sudah tidak apa-apa." suara lembut itu menyapa telinga Taishi, membuatnya perlahan mengendurkan kerutannya. Anak itu tersenyum melihatnya.

Beberapa saat, Taishi tersadar dari pingsannya. Mereka hanya berdua saat ini, Tabib yang mengobati sudah kembali ke tempatnya dan pelayannya sedang meunggu di depan kamar.

"Syukurlah anda sudah sadar Yang Mulia." Taishi menoleh ke arah suara. Matanya menyipit tidak suka kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Sebaiknya anda makan terlebih dahulu Yang Mulia. Kata tabib anda dehidrasi dan kekurangan gizi." anak permepuan itu mendekatkan nampan makanan.

"Kenapa kau disini? Keluar sekarang!" dengan suara parau Taishi mengusir anak itu.

"Setidaknya makan dahulu Yang Mulia." bukannya beranjak anak itu menyodorkan semangkuk sup yang masih mengepulkan uap saat itu. Taishi menepis kasar mangkuk itu hingga mengenai punggung tangan anak itu membuatnya meringis kepanasan.

"Kau tuli ya?! aku bilang keluar sekarang."

"Baiklah saya keluar Yang Mulia, tapi tolong ini dimakan ya. Saya undur diri." anak itu membungkuk sopan lalu keluar dari kamar Taishi dengan menutupi punggung tangannya.

Taishi mencoba menenangkan dirinya, ia sedikit trauma dengan anggota keluarganya sekarang. Sehingga berbuat seperti itu pada anak perempuan yang jarang sekali dilhatnya berada disekitar istana.

Saat malam anak perempuan itu kembali datang ke kamar Taishi. "Putra Mahkota ini saya Soo Hee datang membawa makanan untuk anda." Taishi yang sedang duduk diam tidak menjawab ucapan Soo Hee. Menunggu beberapa saat tidak ada sahutan dari dalam, Soo Hee berinisiatif masuk ke dalam mungkin saja Taishi kembali tidak sadarkan diri.

Saat pintu terbuka terlihat Taishi menatapnya tajam membuat Soo Hee menampilkan giginya malu. "Maaf Yang Mulia, saya hanya khawatir terjadi apa-apa pada anda karena tidak menjawab saya." ucapnya kemudian menunduk. Taishi masih memicingkan matanya tajam.

"Ini saya bawa cemilan untuk Yang Mulia." Soo Hee mendekat.

"Aku tidak mengizinkanmu ataupun menyuruhmu datang. Sekarang keluar! Aku tidak butuh!" bukannya keluar Soo Hee kini duduk di depan Taishi.

"Anda tidak menyentuh makanan sama sekali, itu akan membuat anda sakit kalau begitu terus." Taishi masih menampilkan wajah garangnya, tapi Soo Hee tidak menghiraukannya. Ia tidak takut.

"Ini makanlah Yang Mulia." tangan kecil itu mengarah ke Taishi berniat menyuapinya. Lagi-lagi Taishi menepisnya hingga membuat cemilan itu jatuh ke lantai.

Soo Hee memasang wajah marahnya tapi terlihat menggemaskan bagi yang melihat. "Yang Mulia!" seruan Soo Hee membuat Taishi sedikit terkejut.

"Jangan membuang makanan seenaknya, banyak yang tidak bisa makan tahu." Soo Hee mengambil cemilan yang ditepis lalu meniup-niupnya kecil.

"Kasihan juga koki yang sudah membuatnya dengan susah payah." setelahnya Soo Hee memakan cemilan itu.

"Inhwi henwak." Soo Hee tersedak membuatnya terbatuk. Taishi menatap tanpa reaksi tapi setelahnya ia menyodorkan segelas air pada Soo Hee. Ia segera menerimanya dan meminumnya dengan cepat.

"Kukira aku akan mati." gumam Soo Hee setelah menghabiskan segelas air itu. Taishi sedikit tergerak hatinya untuk menerima Soo Hee, mungkin dia tidak seperti saudara-saudaranya yang lain yang berencana membunuhnya.

"Makanya kalau makan jangan berbicara." bukannya merasa malu karena disindir Taishi, Soo Hee  malah menyunggingkan senyum saat mendengar Taishi berbicara padanya, bukan lagi mengusirnya.

"Setelah hampir mati sekarang tersenyum seperti orang bodoh?" Soo Hee merengut lucu.

"Yang Mulia dilarang berbicara buruk tahu." Taishi hanya melengos tanpa menjawab dan mulai memakan cemilan yang dibawakan Soo Hee. Lagi-lagi membuat Soo Hee terkekeh.



...

Tbc
Fri, April 12 2024
15.54 WIB

I'm On EdgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang