Suara air yang bertetesan dari shower kini berhenti. Berganti dengan suara pelan pintu kamar mandi yang sekarang tengah terbuka.
Seorang gadis keluar dari sana dengan rambut basahnya. Dia, Ara. Guna menyegarkan tubuhnya yang terasa gerah, Ara memutuskan untuk mandi seusai ia berkeringat karena bermain bola voli dengan teman-temannya siang ini.
Ara mengambil ponselnya yang berdering di atas nakas. Setelah melihat kontak 'Papa' yang ternyata menelponnya, Ara langsung menekan tombol hijau di layar ponselnya ke atas lalu menggesernya keatas dan segera menempelkan benda pipih itu pada telinganya.
"Halo?"
"Halo juga, Pa. Kenapa, Pa? Apa ada yang bisa Ara bantu?" Ara sedikit menyenderkan tubuhnya di meja belajarnya sembari menggosok-gosok rambut nya dengan handuk supaya kering.
"Selamat siang, Ara. Kamu benar, Papa ingin kamu membantu papa hari ini."
Dahi Ara berkerut. Tak biasanya Papa nya itu begini. Padahal Ara berkata demikian hanya untuk sekedar basa-basi saja. Sungguh, semenjak kedua orang tuanya pergi mengurus perusahaannya di Spanyol, tak pernah sekalipun orang tuanya itu memintainya pertolongan. Jika pun menelpon, itu hanya karena ingin mengetahui kabar Ara yang saat ini tinggal sendiri saja di sebuah rumah yang sengaja Papanya belikan untuknya.
"Kalau begitu, apa yang bisa Ara bantu untuk Papa?"
"Sebelumnya, izinkan Papa untuk bertanya ya?"
"Silahkan, Pa. Ara akan menjawabnya."
"Mmm, bukankah kamu merasa kesepian semenjak Papa dan Mama pergi kesini?"
Ara makin bingung dibuat Papanya. "Tentu saja enggak, Pa. Siapa bilang Ara merasa kesepian? Ini udah jadi konsekuensi Ara karena udah menolak ajakan Papa untuk ikut kesana, dan tentunya Ara telah mempertimbangkan hal ini sebelum akhirnya Ara membuat suatu keputusan. Jadi, Papa nggak perlu merisaukan Ara."
"Ah, begitu ya,"
Ara diam tak menanggapi ucapan Papanya. Dirinya kemudian beralih posisi menjadi berjalan uring-uringan di kamarnya karena tiba-tiba saja merasakan sesuatu yang janggal pada saat ini.
"Jadi begini Ara. Apa kamu mengenal Joseph?"
"Iya, Ara mengenal nya. Paman Joseph adalah sahabat karib Papa sewaktu SMP. Tapi sekarang kalian jadi jarang berkomunikasi hanya karena memperebutkan sebuah voucher restoran yang padahal tidak begitu penting."
"Hahaha, hey! Jangan mengungkit hal itu. Papa tau itu sangat konyol, jadi lupakanlah. Sekarang kita kembali pada pembahasan awal."
"Tentu, Pa. Ara akan mendengarkannya." Balas Ara dengan suara lembutnya.
"Ada kabar baik. Joseph ingin melakukan, emm... semacam kolaborasi antara perusahaannya dengan perusahaan milik kita."
Ara diam menyimak. Menunggu Papanya melanjutkan kembali penjelasannya.
"Dia memiliki seorang putri. Sangat cantik."
"Lalu apa hubungannya dengan ku? Ah, tunggu! Apa Papa memujinya barusan? Mama pasti marah kalau tau ini."
"Bukan begitu, Papa hanya mengatakan yang sejujurnya. Tapi Mama mu tentu masih menjadi yang tercantik di antara banyak wanita. Ah, iya. Bisakah kita lanjutkan kembali pembahasannya? Kita sudah terlalu banyak menunda."
"Tentu, Pa."
"Joseph dan istrinya selaku sekretaris perusahaan, Hana. Ingin segera berangkat ke Spanyol untuk mengurus itu semua. Namun, Gadis tunggalnya itu menolak untuk ikut bersama dengan mereka. Joseph mengkhawatirkannya. Sungguh, Papa ingin sekali membantu Joseph dalam permasalahannya ini."
"Dengan cara?"
"Supaya Joseph bisa pergi dengan perasaan yang lega. Papa ingin agar anaknya tinggal bersama saja dengan mu di rumah. Ini yang sedari tadi Papa ingin sampaikan. Lagipula, ini sesuai agar rumahmu tidak terlihat terlalu sepi bukan?"
Ara melongo tak percaya dengan ucapan Papanya. "Ara nggak mau, Pa. Mungkin Ara bisa bantu permasalahan yang lain, enggak dengan yang ini. Papa tau sendiri kan, kalo Ara susah beradaptasi dengan orang baru? Apalagi untuk tinggal se-rumah. Itu sangat tidak menyenangkan bagi Ara." Tolak Ara tegas, namun masih sopan pada Papanya.
"Tapi, nak. Tidak akan lama, hanya sebulan untuk kami menyelesaikan urusan kami. Tidak ada lagi yang dapat kamu bantu, hanya ini. Tolonglah, demi kejayaan kedua perusahaan ini, bantulah Joseph untuk Papa."
"Perusahaan kita sudah jaya bahkan tanpa melakukan hal hal seperti itu. Dan tunggu, Papa mengatakan satu bulan adalah waktu yang sebentar? Nggak, Pa. Maaf, Ara nggak bisa membantu Papa untuk saat ini."
Terdengar helaan nafas panjang Papa Ara dari ponsel. Ara ikut menghela nafasnya lalu meletakkan di atas kasur. Dia suka dengan sepi, dia sudah nyaman dengan suara sunyi di rumahnya. Bagaimana bisa ia dengan segera menerima orang baru? Itu sulit bagi Ara.
"Halo, sayang? Halo? Dimana Ara kesayangan Mama?"
Mendengar suara lembut itu keluar dari ponselnya, Ara segera kembali menempelkan ponselnya pada telinganya.
"Iya, Ma? Ara disini."
"Ara, kamu dengerin apa kata mama ok? Jangan cemas, semua akan berjalan baik-baik saja jika kamu menghadapinya dengan penuh rasa sabar."
"Iya, Ma." Jawab Ara lembut, kini dengan kepasrahan.
"Ini adalah kesempatan yang bagus untuk Papamu, untuk perusahaan kita juga. Tolonglah, bantu dia. Mama memohon untuk Papamu dan juga untuk paman Joseph."
"Tapi, Ma. Itu sulit untuk Ara. Ara nggak bisa, Ma."
"Bisa. Pasti Bisa. Apa yang nggak bisa di dunia ini, Ara? Kamu tidak boleh terbiasa dengan kesendirian. Kita sebagai makhluk sosial diciptakan untuk saling membutuhkan satu sama lain. Kalau kamu sendiri terus, lalu seandainya kamu membutuhkan pertolongan, siapa yang akan menolongmu jika kamu saja tidak ingin menerima kehadiran orang baru di hidupmu?"
Ara memijat pelan pangkal hidungnya yang terasa berdenyut. "Ara tau itu, Ma. Tapi Ara punya teman-teman Ara."
"Ara, tolonglah."
"Beri Ara waktu ya, Ma?" Jawab Ara dengan penuh keberatan hati.
"Tentu saja! Mama juga paham jika kamu memerlukan sedikit waktu untuk kemudian mengambil keputusan. Tapi jangan terlalu lama ya? Joseph dan istrinya sudah harus pergi besok lusa. Kamu beristirahatlah dulu sayang. Mama tunggu kabar baiknya besok."
"Iya, Ma. Ara usahakan."
"Bagus, anak pintar. Mama tutup telponnya ya?"
"Iya, Ma."
*panggilan terputus
Sekian lama obrolannya dengan orangtuanya berlangsung. Hingga rambutnya pun kini telah mengering dengan sendirinya. Ara merebahkan separuh tubuhnya di kasur. Ditatapnya langit-langit kamar satu-satunya di rumah ini dengan lekat.
Sungguh ini berat. Tapi, demi orangtua tersayangnya. Ara akan melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GOLDEN HOUR - CHIKARA (On Going)
Teen FictionGolden hour, waktu emas. Bagi Ara, waktu emas dirinya adalah ketika sebuah perasaan aneh tiba-tiba tumbuh tanpa disiram saat berada di dekat Chika. "Kalaupun satu dunia menentang perihal kita, aku tidak gentar. Biarlah aku mati di garis perjuangan...