17. Swallowed By The Earth

392 32 8
                                    


"Chika lagi di luar, Om. Katanya dia mau main sama temen temennya."

"Oh begitu ya? Pantes saya telfonin nggak di angkat. Ya sudah lah, sampaikan salam saya sama Chika ya, Ara." Pesan ayah Chika—Joseph, pada Ara lewat sambungan seluler.

"Iya, Om. Nanti kalo Chika nya udah pulang, saya sampaikan salam nya."

"Terimakasih Ara,"

*panggilan berakhir

Sementara di sisi lain, Chika nggak beneran lagi main sama temen temennya. Melainkan dia pergi ke tempat yang biasanya ia kunjungi sewaktu malam untuk melakukan pacu besi.

Tentunya hal ini Chika lakukan tanpa se-pengetahuan Ara. Dirinya bisa bisa di marahin kalo pacarnya tau ia berbohong.

"Kav, gue pinjem motor lu ya! Bentar aja kok, buat keliling kota aja. Boleh ya, Kav?"

Kavrazen Dewata—teman Chika, mengangguk. "Pake aja, besok di balikin juga nggak papa kalo sama lu mah."

"Makasih deh," Chika mulai menghidupkan mesin kuda besinya, bersiap menjalankannya di atas aspal.

"Chik!" Panggil Kavra hingga Chika menoleh. "Hati hati!" Tambahnya.

"Iya!" Balas Chika mengacungkan jempolnya ke atas sambil tersenyum.

***

Ara berdecak kesal nan khawatir. "Chika kemana sih mainnya? Sesusah itu ya buat ngangkat telfon?" Kesal Ara mendudukkan dirinya di sofa.

Jari Ara dengan cepat menggulir kontak, mencari kontak Adel lalu menelfonnya.

"Halo, Del. Coba lu telfon Ashel deh."

"Dih? Males banget anjir, gengsi gue."

"Ck! Buruan! Soalnya Chika katanya lagi main sama si Ashel. Tanyain coba, gue khawatir. Chika nggak ngangkat telfon gue, di chat juga nggak di baca."

"Cieee khawatir, kiw kiw."

"Bacot! Cepetan atau gue nggak mau lagi liat muka lu."

"Eh iya iya, ini gue tel—"

Ara mematikan telfonnya dengan Adel secara sepihak. Kemudian menyenderkan kepalanya di sandaran sofa sembari berusaha ber-positive thingking.

***

"Wuhuuuuu!!!" Sorak Chika kegirangan kala memacukan motornya di jalan yang menurun.

Sepi, dengan sisi kiri dan kanan jalanan yang di tumbuhi pohon membuat suasana sejuk dan menenangkan di siang menuju sore ini. Hanya ada beberapa rumah disini.

***

|Ra
14.37

|Kata Ashel barusan, Chika nggak ada sama dia
14.37

|Ashel nya aja lagi tidur, kebangun ggra gw telpon
14.37

Ara bangkit dari duduknya. "Anjingggg!!!"

***

Ara duduk termenung di kantor polisi, menatap kedua tangannya yang saling mengenggam sambil termenung sebelum akhirnya Adel menghampirinya.

"Mau sampai kapan lu begini?" Adel merangkul bahu Ara, menyalurkan aura semangat padanya.

"Jiwa gue mati, tanpa Chika juga Azizi." Helaan nafas mengikuti perkataannya.

"Chika pasti ada, nggak hilang, dia pasti lagi baca komik di kasur empuk kamarnya. Jadi, lo nggak perlu khawatir." Ucap Adel menenangkan.

Ara mengangguk. Bangkit dari duduknya, meninggalkan kantor aparat kepolisian seusai berjumpa dengan Azizi yang harus terkurung di jeruji besi bersama dengan orang tuanya akibat kasus pemakaian obat obatan narkotika terlarang, dan juga korupsi yang di lakukan oleh orang tua Azizi sendiri.

Di atasnya, ada langit jingga yang menyapa. Bayangan Chika terlihat disana, hanya Ara yang bisa melihatnya. Gadis itu, menghilang bak di telan bumi. Tanpa kabar, tanpa jejak.

Chika dan dirinya, belum sama sekali menyudahi hubungan mereka. Hubungan yang diam diam mereka jalin, tanpa sepengetahuan orang tua mereka.

Terakhir kali Ara melihatnya, ada ketika Chika sendiri menghidangkan secangkir teh untuknya. Kemudian izin pamit untuk pergi keluar bersama teman-temannya. Padahal, tidak begitu.

Entah kemana Chika pergi. Entah mungkin sudah berada bersama orang tuanya, atau pun terbang jauh berkelana di cakrawala.

Orang tua Ara, sama sekali bungkam tentang ini. Ara frustasi di buatnya. Usaha Ara untuk mencari keberadaan Chika selama setengah tahun tidak menbuahkan hasil sama sekali. Menyerah adalah hasil satu satunya dari usahanya.

"Kamu dimana?" Lirih Ara menatap sang Jingga di atasnya.

***

END?

GOLDEN HOUR - CHIKARA (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang