"Jadilah anak yang manis untuknya. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan pengeluarannya karena Joseph telah mengurus itu semua. Tapi sesekali berbaik hati lah padanya. Terimakasih, Ara. Papa sangat bangga dengan kamu."
"Iya, Pa. Apapun itu untuk Papa dan Mama."
"Baiklah kalau begitu. Papa tutup ya?"
"Iya, Pa." Papa Ara menutup panggilan telpon nya dengan anaknya. Setelah itu Ara menyimpan ponselnya di dalam saku jas seragam sekolahnya.
Ara kembali fokus memperhatikan jalanan yang sekarang ia lalui dengan mobilnya. Jalanan Jakarta dengan langit yang cerah ini terlihat ramai. Sesekali Ara berdecak, merasa kesal karena beberapa kali mobilnya terjebak macet.
Tujuan Ara saat ini adalah SMA Kurata. Itu bukan sekolah tempat Ara menimba ilmunya. Melainkan sekolah itu adalah sekolah dimana Chika— anak Joseph, bersekolah. Iya benar, Kini Ara ingin menjemput gadis yang akan tinggal bersamanya selama satu bulan kedepan itu di sekolahnya.
Ara memelankan pacuan mesin mobilnya waktu udah memasuki kawasan SMA Kurata. Setelah memarkirkan mobilnya dengan rapi, Ara turun dari sana sambil menutupi wajahnya karena ngerasa silau oleh cahaya matahari yang bener bener menyengat.
"Luas banget sekolahnya. Tapi masih lebih luas sekolah gue sih," Monolog Ara pas ngeliatin gedung utama sekolah itu yang menjulang keatas.
Ara memandang ke sekelilingnya. Banyak banget murid sekolah ini yang memperhatikannya. Mungkin karena Ara menggunakan seragam yang beda sendiri pikir Ara.
Kedua kaki Ara mulai melangkah. Berjalan ke gedung utama dari sekolah ini. Ara mempercepat kakinya untuk mencari seorang gadis yang bernama Chika itu. Mengingat bahwa Ara nggak punya nomor kontak Chika, jadi Ara nggak langsung menghubunginya biar kemudian bertemu di titik kumpul.
"Siapa dia?"
"Nggak tau tuh. Kalo di liat-liat dari almamaternya, kayaknya sih anak Margareth."
Bisikan itu terdengar hingga ke telinga Ara. Sontak Ara menoleh, melirik ke asal suara dengan kondisi mukanya yang biasa aja. Sambil ragu-ragu, Ara berjalan nyamperin manusia yang kayaknya lagi ngomongin dia tadi.
"Maaf? Gue mau nanya. Kalian kenal yang namanya Chika nggak?" Kata Ara senyum-senyum canggung ke dua cewek di depannya.
"Eh, Chika? Chika mana dulu nih?" Tanya cewek yang satunya sambil kebingungan ngeliat Ara.
Ara yang ditanyain begituan ikut bingung. Soalnya dia juga nggak tau nama kepanjangan sama bentukan si Chika Chika ini. Karena setaunya, cewek yang mau dijemputnya ini namanya Chika. Itupun dia taunya juga dari Papanya.
"Yang mana ya? Gue juga nggak tau." Balas Ara ngebenerin rambutnya yang dirasa agak berantakan sambil mikir.
"Gimana sih lo? Lo mau ngejemput Chika kan ya? Tapi masa lo nggak tau orangnya yang mana. Udah kayak ojol aja lo."
"Mana ada ojol modelan kayak dia anjir," Cewek yang satunya nanggepin ucapan temennya yang rada-rada sambil ngelirik penampilan Ara yang nggak keliatan kayak tukang ojol.
"Eh iya juga sih. Jadi gimana nih? Kita mau pulang tau." Ara yang grogi mulai gigit bibirnya. Bingung pokonya. Soalnya Ara bener-bener nggak tau manusia yang mau di jemputnya yang mana. Seandainya Ara milih nyerah terus pulang aja, pasti dia bakalan di marahin sama Papanya.
"Yaudah deh kalian pulang aja. Maaf ya udah ngeganggu." Final Ara daripada dia terus-terusan ngerepotin dua cewek itu.
"Iye iye, santai aja. Kita pulang—"
BRUKK!
Ibaratkan meteor yang dateng tiba-tiba. Ara tersungkur kebelakang waktu ada orang yang lari-larian terus nabrak dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
GOLDEN HOUR - CHIKARA (On Going)
Teen FictionGolden hour, waktu emas. Bagi Ara, waktu emas dirinya adalah ketika sebuah perasaan aneh tiba-tiba tumbuh tanpa disiram saat berada di dekat Chika. "Kalaupun satu dunia menentang perihal kita, aku tidak gentar. Biarlah aku mati di garis perjuangan...