6. Minta gendong

67 17 82
                                    

Haii, aku kembali. Happy reading's all💓

***

Avelia berlari menuju rooftop. Ia tak peduli
tatapan aneh dari beberapa siswa-siswi. Di sana ia menangis sambil membekap mulutnya.

Hatinya terasa sakit, ayah dari anak ini saja tidak menginginkannya, lalu dia harus bagaimana?

"Kenapa rasanya sakit sekali, Tuhan?" Avelia berucap lirih, raganya tersiksa, jiwanya sangat frustasi. Avelia bisa menjadi gila di buatnya.

Avelia, Avelia. Lo nggak bisa berharap lebih pada seorang Arjuna Dirgantara. Apa yang lo harapkan dari cowok brengsek itu?

Tadi saat Arjun mengajak Avelia berbicara, Avelia sudah menyiapkan kata-katanya untuk mengambil barang-barangnya yang tertinggal di apartemen Arjun.

Namun, niat ingin meminta barang-barangnya kembali malah ambyar. Rasa kecewa lebih besar. Kecewa pada dirinya sendiri. Avelia yakin, pasti orang tuanya di atas sana sedang menatapnya sedih.

Avelia sudah membuat Papa Mama kecewa, Avelia minta maaf Pa, Ma, batin Alnara pedih. Menjaga dirinya sendiri saja tidak bisa, apa lagi jika bayi ini lahir?

Avelia bingung harus bagaimana, takut Avelia sungguh takut. Makin lama perutnya akan makin membesar, dan semua orang akan mengetahui aibnya. Avelia belum sanggup menghadapi itu semua.

Di sela-sela tangis meratapi nasib, rasa mualnya kambuh lagi. Avelia berusaha memuntahkan isi perutnya namun lagi-lagi hanya cairan bening yang keluar.

Avelia terduduk di lantai, ia menarik rambutnya frustasi. Tangisnya semakin kencang karena kesal tak dapat memuntahkan apa pun.

"Kenapa nggak ada yang keluar sih?!" di tenggorokannya terasa seperti ada yang menyangkut, tetapi sulit untuk di keluarkan.

Avelia menangis sampai tersendat-sendat, ia memukuli dadanya karena merasa sedikit sakit. Nafasnya mulai terengah-engah karena menangis cukup lama.

Karena terlalu lama menangis membuat Avelia tidak sadar jika ada seseorang yang sedari tadi melihatnya begitu rapuh. Tubuh ringkih Avelia di dekap erat oleh orang itu, dia adalah Dimas Argontara, laki-laki yang menolongnya kemarin.

Hatinya ingin memberontak hanya saja tubuhnya sudah terasa lelah, tanpa sadar Avelia memeluk kembali tubuh atletis Dimas. Saat ini ia butuh pelukan seseorang. Tangisnya semakin menjadi-jadi.

"Gue harus gimana?"

"Tenangin diri lo dulu," Dimas menepuk-nepuk punggung Avelia berharap agar sedikit tenang.

Sebenarnya sebelum Avelia datang Dimas sudah lebih dahulu berada di roof top. Dimas melihat semuanya, awalnya ia memilih untuk tak ikut campur. Namun, ketika melihat Avelia semakin menjadi-jadi, perasaan manusiawinya muncul.

Dimas mengingat ucapan ibunya. Jika melihat seseorang sedang rapuh, perasaan hatinya sedang kacau maka peluklah. Itu akan meredakan emosinya.

Dan benar saja, perlahan Avelia mulai tenang walau masih sesenggukan. Perasaannya sudah cukup tenang. Alnara melepaskan pelukannya dan tersenyum kikuk.

"Makasih,"

"Gue tau masalah yang lo hadapi rumit. Tapi jangan coba-coba untuk menyakiti diri sendiri, itu bukan solusi yang tepat," tutur Dimas. Laki-laki itu sedikit prihatin.

Avelia menunduk, mau menyangkal tetapi ucapan Dimas benar adanya. Untuk sekarang mentalnya tidak baik-baik saja.

"Gue nggak tau harus ngapain, ayah dari bayi ini nggak menerima. Menurut lo, gue harus bagaimana?" lirih Avelia. Tersirat sangat jelas jika Avelia begitu terpukul. Andai Avelia bisa memutar waktu, pasti ia akan skip kejadian malam itu.

AVELIA (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang