16. Gara-gara toilet

31 4 2
                                    

Haiii, aku kembalii. Selamat membaca💗
***

Avelia tidak marah, melainkan dirinya merasa malu untuk berinteraksi dengan Dimas seusai kejadian tadi. Wajahnya akan memerah jika mengingatnya.

Dan saat ini, keduanya tengah duduk berdampingan di rooftop. Hampir lima belas menit hanya ada keheningan, Avelia tak berniat membuka suara sedangkan Dimas takut jika ucapannya akan dipotong lagi.

Namun, Dimas menyakinkan diri. Kalau dia tak memulai dapat dipastikan akan lebih lama lagi cosplay menjadi patung dan Avelia tak akan pernah mau berbicara seperti semula lagi.

"Gue minta maaf," Dimas menunduk. Ia bernafas lega ketika ucapannya tidak dipotong, akan tetapi masih tersirat nada cemas.

Avelia diam tak merespon.

"Gu-"

"Lo emang salah, tapi gue udah maafin kok." potong Avelia, setelah bergulat dengan pikirannya. Avelia memutuskan untuk seperti biasa agar tidak canggung.

Dimas mendongakkan kepala melihat wajah Avelia. Matanya berbinar membentuk bulan sabit. "Tapi tadi lo marah sama gue," senyumannya luntur ketika mengingat kejadian tadi.

Avelia menggeleng tak setuju. "Nggak marah, cuma kaget aja,"

"Beneran?" tanya Dimas memastikan. Sejujurnya ia tak begitu yakin.

Avelia menganggukkan kepalanya dengan mata terpejam sebentar. "Iya, tapi janji ya. Jangan di ulangin lagi."

Merasa senang sekaligus lega, secara reflek Dimas menggenggam kedua tangan Avelia. Hatinya bersorak gembira, akhirnya masalah ini dapat terselesaikan dengan baik.

"Janji, Tuan Putri!"

Tubuh Avelia menegang, Dimas menyadari itu dengan perlahan ia melepaskan genggamannya.

"Besok jalan gimana?" ajak Dimas. Sebenarnya mau hari ini, akan tetapi sepertinya terlalu buru-buru lagian ia sudah ada janji dengan sepupunya.

"Besok nggak bisa,"

"Kenapa?"

Avelia celingak-celinguk kesana kemari untuk memastikan tidak ada orang sama sekali. Karena pembicaraan ini sangat sensitif, ia tak mau menggemparkan seluruh sekolah secepat ini.

Merasa aman, lalu ia mengode Dimas agar mendekatkan telinganya. Dimas yang paham pun menurut.

"Mau kerumah sakit buat cek, bayi," bisik Avelia. Setelahnya ia duduk tegak seperti semula.

"Gue temenin, mau?" tawar Dimas. Sebagai calon suami harus menemani calon istri untuk hal yang seperti ini, walau bukan dari perbuatannya. Laki-laki yang satu ini sangat pede sekali.

Avelia mengetuk-ngetuk dagunya seperti tampak berpikir. "Gimana, ya?"

Melihat itu Dimas menggoyang-goyangkan lengan Avelia, memohon agar Avelia mengizinkan ia untuk menemani.

"Boleh ya?" mohon Dimas. Gelar laki-laki cool yang siswi-siswi berikan sepertinya sudah tidak ada lagi. Sudah hilang ditelan laut. Namun, itu hanya berlaku untuk Avelia seorang.

Melihat itu Avelia tak kuasa menahan tawa, kenapa laki-laki itu berubah menjadi menggemaskan? Kemana perginya sifat dingin yang selalu menempel?

"Iya-iya, Super Hero boleh ikut," akhirnya, ini jawaban yang Dimas tunggu.

Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang berada disana. Tangan orang itu terkepal kuat menatap tak suka, dadanya bergemuruh ingin memisahkan namun ini bukan waktu yang tepat.

AVELIA (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang