part 17

696 95 7
                                    

Langit masih gelap dan orang-orang dapur belum selesai menghidangkan sarapan di meja makan, namun laki-laki bermata minimalis itu telah siap dengan seragam marun-donkernya. Sejak jam empat pagi, Rakha telah meninggalkan kamar untuk mengedit video di ruang khusus. Minggu ini ia tak hanya mengedit satu atau dua video, tetapi lima video sekaligus.

Brakk

Dentum setelah dibantingnya pintu ruangan Rakha membuat laki-laki itu refleks menoleh. Patahnya gitar kesayangan adalah pemandangan pertama yang Rakha tangkap sebelum sosok pria yang berdiri tak jauh dari pintu.

"Buang-buang uang lagi kamu!"

Rakha menunduk meratapi gitar kesekian yang kembali dirusak oleh papanya sendiri. Bukan hanya dibanting atau dipatahkan, alat-alat musik Rakha juga sering berakhir di tempat pembakaran.

"Papa kasih kamu uang bukan buat beli barang-barang nggak berguna, Rakha!"

Rakha diam menunduk, namun tangannya mengepal kuat. Ia tak pernah menyentuh uang pemberian papanya sepeserpun. Rakha membeli keperluannya dengan uang sendiri. Uang yang ia hasilkan bersama Mala dengan menjadi content creator dan fotografer di waktu-waktu luang. Banyaknya followers yang Rakha miliki juga membuatnya menerima beberapa endorse. Semua itu ia lakukan bersama-sama dengan Mala. Namun suatu ketidakmungkinan untuk mengatakan hal itu pada papanya. Sang papa tak pernah setuju Rakha terjun di dunia lain selain bisnis.

"Sekali lagi kamu ketahuan main musik atau terlalu asik sama kameramu, Papa nggak segan-segan berhenti kasih kamu uang!"

Pria paruh baya itu berlalu dari hadapan Rakha, namun kalimat-kalimat menyakitkannya masih terngiang-ngiang sampai sekarang.

Sejak kecil Rakha sudah dibiasakan untuk tunduk dan takut kepada orang tua, terkhusus sang papa. Seperti tadi, ia akan selalu diam saat dimarahi tanpa melakukan perlawanan. Namun Rakha tak akan pernah meninggalkan hal-hal yang membuatnya bahagia. Musik dan kamera sudah menjadi sebagian dari hidup Rakha meski tak ada darah seniman yang mengalir di tubuhnya.

Jika sudah seperti ini, Rakha akan membuang gitar miliknya karena sering kali mereka sudah tak bisa diperbaiki. Ia meruntuki kecerobohannya yang tak menyembunyikan kembali gitarnya setelah dimainkan tadi malam.

"Maaf Dash Sembilan, lo harus nyusul Dash Delapan," ujar Rakha pada gitar yang telah menemaninya selama dua bulan terakhir.

Lagi-lagi Rakha mengepalkan tangan kuat-kuat. Semakin lama ia semakin muak menjadi anak dari seorang pengusaha ambisius seperti papanya. Namun Rakha lebih muak karena tak bisa melakukan apapun sampai sekarang. Ia sangat menyayangi papanya.

Rakha menyambar kunci motor untuk menumpahkan kekesalannya ke jalanan. Ya, Rakha telah mengantongi izin untuk mengemudi, tetapi ia belum memiliki mobil sendiri sehingga tak bisa mengendarai mobil seperti Afan.

Di lain tempat, Mala tengah bersenandung kecil di teras rumah sembari menunggu sangat supir selesai mengeluarkan mobil. Gadis itu asik melihat-lihat hasil fotonya yang diambil Rakha beberapa waktu lalu.

Seharusnya ia diantar supir pagi ini, tapi batal setelah ninja hitam berhenti di pelataran rumah.

"Rakha?" Mala tersenyum antusias dan langsung meninggalkan kursi rotannya.

Mala menghampiri Rakha dengan sumringah, lain dengan Rakha yang masih kesal karena harus membuang gitarnya sendiri pagi ini.

"Hei sayang, kenapa?" tanya Mala khawatir. Dirabanya dahi Rakha untuk memastikan laki-laki itu tidak sakit.

Alih-alih menjawab, Rakha justru turun dari motor dan memeluk Mala tanpa mengatakan apapun.

Sekarang Mala paham. Dibalasnya pelukan rapuh laki-laki itu dengan penuh kasih sayang.

MELLIFLUOUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang