26

879 95 9
                                    

Hujan telah reda. Awan mendung mulai menyingkir perlahan-lahan. Jalanan basah dan langit kekuningan menjadi saksi betapa bahagianya dua manusia yang tengah berboncengan itu. Seolah tak ingin dilepas, Afan menggenggam erat tangan Serly sementara yang digenggam menyandarkan kepala di punggung Afan sembari menatap langit sore.

"Kamu keberatan kalau aku jadi yang pertama, Cel?"

"Justru aku nggak mau kalau bukan kamu, Fan."

"Tunggu ya."

Caranya menatap, senyum cantik, dan anggukan malu-malu gadis itu tak pernah bisa pergi dari ingatan Afan biarpun telah berulang kali ditepis.

Untuk kesekian kalinya Afan melirik spion dan menemukan mata jernih itu merefleksilan keindahan langit sore. Biar rambut panjangnya tersibak berantakan, Serly seolah tak terusik dan tetap pada aktivitasnya menatap langit.

"Kenapa sih lihat ke atas terus? Padahal di sini ada yang nggak kalah indah," goda Afan. Serly terkekeh lalu turut menatap spion sehingga pandangan mereka bertubrukan.

"Mau cemburu juga sama langit? Tau nggak dari tadi aku diem ngapain?"

Afan menggeleng kemudian mengeratkan genggamannya, "Ngapain?"

Alih-alih menjawab, Serly justru menjawab dan menggumam pelan jika ia menyukai aroma parfum Afan. Aroma coklat yang manis. Serly tak mungki berterus terang jika sejak tadi dirinya berusaha menghirup wangi itu dan menikmatinya.

"Fan?"

"Iya, Cel?"

"Lagi seneng, ya?"

"Nggak usah ditanya."

"Tapi jangan berlebihan, oke?"

"Kenapa?"

"Dulu sewaktu kecil aku selalu kena marah tiap kali ketawa berlebihan. Kata mama kalau aku ketawa berlebihan nantinya aku bisa nangis. Aku suka ngeyel, eh, taunya beneran. Kalau siangnya aku kelewat seneng pasti malemnya ada aja yang bikin nangis."

Afan mengernyit heran. Bukankah Serly terdengar seperti tengah memperingatkannya agar tidak terlalu bahagia karena bahagia yang berlebihan hanya akan berujung pada kesedihan?

"Mitos, Cel. Masa mau bahagia nggak boleh?"

Serly mencubit gemas pipi Afan itu, "Iya boleh, Afan ... Bahagia sepuasmu."

"Makanya jangan ke mana-mana kalau mau aku bahagia."
"Iyaaa," teriak Anneth di telinga Deven sebelum laki-laki itu terkekeh dan mempercepat laju motornya.

Sebenarnya mereka tak hanya iseng berkendara untuk menikmati sore hari di pinggiran Jakarta, tetapi sekaligus ingin pergi ke rumah Mala. Namun dirasa masih terlalu awal untuk menghadiri undangan jam tujuh malam, Afan berinisiatif mengajak Serly berjalan-jalan, menghirup aroma petrichor yang beradu dengan asap kendaraan.





🎧🎧🎧






"Mau kemana kamu?" Suara bernada dingin itu menghentikan langkah Rakha ketika melintas di ruang tengah.

Laki-laki berkulit putih itu segera menundukkan kepala mendapati papanya tengah duduk sambil memangku kaki di sofa.

"Ke rumah Mala," jawab Rakha hati-hati.

"Mau ngapain?"

"Main, Pa."

"Cuma main atau main musik?"

Rakha mulai tersudut. Laki-laki yang tak lama lagi menginjak 18 tahun itu hanya mengatupkan bibir. la tak mungkin berbohong, tetapi tak mungkin pula untuk berkata jujur dan mengiyakan pertanyaan sang papa.

MELLIFLUOUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang