- The Wind Blows Our Hopes Away -
Mata itu enggan terpejam meski kantuk dan lelah menggerogotinya semalaman, hingga akhirnya bunyi alarm dari jam digital di nakas membuat tubuh perempuan berambut pendek itu bangun. Ia mengerjap pelan, masih menunduk, berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja.
Brenada mulai bergerak menuju walk in closet, memilih pakaiannya sebelum masuk kamar mandi. Ketika ia berdiri di hadapan kaca wastafel, tangannya kembali meraba bibirnya sendiri. Merasakan sisa lumatan mantan suaminya.
Harusnya dia marah karena untuk kedua kalinya ia sudah dilecehkan, namun ia tidak bisa, atau lebih tepatnya tidak ingin. Baginya, ia memang pantas dibenci dan diperlakukan hina oleh lelaki itu. Dirinya yang bersalah atas kehancuran mereka berdua.
Setelah menyelesaikan rutinitas paginya yang selalu terasa begitu-begitu saja, Brenada turun ke lobi apartemen. Ia enggan membawa mobil, jadi ia memilih untuk memesan taksi. Agar paling tidak ia tetap bisa sampai di kantor meskipun dengan lamunan panjang di sepanjang jalan.
"Tolong mampir dulu ke Haeva Coffe and Bakery di Saint John avenue," pinta Brenada pada sopir di tengah perjalanan.
Taksi memasuki halaman luas kafe yang menjadi saksi hubungannya dengan Leonard itu lalu berhenti, namun mata Brenada terbelalak. Ia harus mendapati jeep biru tua yang sangat ia kenali siapa pemiliknya, hingga sosok yang membuatnya tidak mampu terpejam semalam turun dengan sedikit terburu.
Hati Brenada berdebar, dan benaknya bertanya-tanya, mungkinkah Leonard juga masih sering mengenang dirinya di tempat itu? Brenada sudah hampir tersenyum, sebelum redup ketika mendapati lelaki itu membuka sisi lain pintu mobil lalu menampakkan gadis muda yang beberapa waktu lalu lelaki itu bawa ke kantor.
Tangan perempuan itu terkepal. Kantuknya berubah menjadi amarah seketika. Tapi kejutannya tidak hanya sampai disitu. Perempuan yang Brenada ingat memiliki nama Ashley itu turun lalu mengangsurkan gadis kecil dengan senyum merekah kepada Leonard. Lelaki itu menampakkan wajah yang sudah lama tidak ia temukan; wajah hangat, berseri, dan penuh cinta.
"Ma'am?" panggilan sopir taksi mengalihkan pandangan Brenada. Perempuan itu menghela nafas kasar sebelum memutuskan, "Maaf, tapi sepertinya kita langsung ke kantor saja. Saya ada rapat mendadak,"
Taksi melaju meninggalkan pelataran luas tempat biasanya ia mengadu resahnya selain di apartemen. Brenada meremas ujung kemejanya ketika taksinya melewati tiga orang yang masih tertawa dengan riang dan hendak berjalan menuju kafe.
Dirinya yang memilih jalan pahit ini, dan Leonard tidak berdosa jika melanjutkan hidupnya. Bukankah itu yang Brenada inginkan selama ini? Leonard harus aman dan berbahagia.
Brenada tersenyum miris. Mulai menertawakan pikiran dan terkaan-terkaan bodoh yang sempat berharap bahwa Leonard masih di fase yang sama dengan dirinya. Leonard mungkin diam-diam masih mencintainya atau Leonard masih menyimpan ruang untuknya. Dan semua hal yang kemarin lelaki itu lakukan hanya untuk menarik perhatiannya.
Namun sayang, Brenada harus segera tersadar, semua itu tidak lain karena Leonard membencinya. Kali ini Brenada tahu bahwa, dirinya sudah hancur sehancur-hancurnya.
***
Orang-orang sibuk, tidak ada satupun staf di gedung FBI itu yang bisa berjalan dengan santai. Kondisi mereka sudah semakin terdesak, mengingat Harrick Junk sudah mulai melakukan teror ke Gedung Putih. Rencana-rencana tim gabungan gagal total. Kepanikan melanda seisi gedung.
Leonard berlari menuju ruang panel, tempat segala aktivitas cyber dan spionase dilakukan. Dengan tergesa ia menghampiri Elize, pemimpin ruangan itu. Perempuan itu mendesah berat dan menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Divorce Between Us
Fanfiction[An Alternate Universe of Ada Wong and Leon S. Kennedy] 18+ minor please respect the social guidelines Brenada Wong adalah seorang Executive Assistant Director bagian Keamanan Nasional di FBI. Ia harus kembali berhadapan dengan mantan suaminya kare...