[TDBU 18]

305 25 19
                                    

- The Warm Gaze Upon You -

Brenada melihat tubuhnya sendiri di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat penuh luka goresan, dengan selang infus tertancap di tangan. Jelas ia tengah kebingungan, karena yang terlihat adalah tubuhnya sendiri. Bagaimana bisa dirinya melihat tubuhnya sendiri dengan begitu jelas? Tak lama, Leonard datang. Lelaki itu terlihat kacau dengan beberapa luka di wajahnya, namun lelaki itu tidak peduli. Ia malah terduduk lemas di samping tubuh tak berdaya Brenada, dengan tangis tersedu. Suara Leonard jelas terdengar, dan terputar berkali-kali.

"Maaf, maafkan aku,"

"Maafkan aku, Brenada,"

"Maaf, hanya kami yang bisa pergi,"

Kalimat itu terus berulang, membuat jantungnya nyeri dan berdegup kencang. Hingga, tiba-tiba tubuhnya serasa terpelanting ke dimensi lain. Ia tergeragap bangun. Tubuhnya basah oleh keringat, dan jantungnya tetap berdebar kencang.

Tadi itu hanya mimpi. Namun semuanya terasa begitu nyata. Tiba-tiba ia merasa resah. Mimpi-mimpinya mulai aneh, dan sayangnya, tidak satupun mimpi-mimpi itu ia ingat sebagai sebuah memori di masa lalu. Semua terasa asing, sekaligus begitu nyata.

Perempuan itu bergerak, berjalan pelan menuju meja makan untuk mengambil minum. Setelah selesai, ia berbalik dan baru menyadari bahwa Leonard juga berada disana. Lelaki itu tengah tertidur di sofa, meringkuk disana berselimut jaket yang sebentar lagi akan merosot jatuh ke lantai.

Brenada berjalan pelan ke ranjang, mengambil selimut tipis yang memang disediakan disana lalu berjalan kembali menghampiri Leonard yang masih tertidur pulas. Ia ambil jaket lelaki itu, lalu menggantinya dengan selimut. Dengan sepelan mungkin, Brenada membenarkan letak selimut agar menutupi seluruh tubuh Leonard. Setelahnya, perempuan itu jongkok, tepat di samping muka Leonard yang tidur dengan damai.

Ia jadi teringat dengan kejadian beberapa jam lalu. Sejujurnya tidak ada yang berarti. Setelah Leonard memeluknya, dan meminta maaf entah untuk apa, Brenada langsung mendorong lelaki itu. Brenada merebahkan tubuhnya lagi, tanpa berniat membahas apapun dengan Leonard. Baginya saat ini, tindakan dan percakapan apapun yang tidak menyangkut pekerjaan adalah sesuatu yang berlebihan.

"Kenapa rasanya hanya aku yang bertambah tua? Wajahmu tidak ada kerutan, aku iri,"

Perempuan itu diam lagi. Lalu mulai mengamati seluruh bagian wajah yang pernah menjadi pemandangan paling menyenangkan tiap pagi.

"Jangan meminta maaf lagi, aku tidak suka mendengarnya. Itu terdengar menyakitkan," ujarnya, entah untuk permintaan maaf yang ada di dalam mimpi atau beberapa jam lalu.

"Wajahmu, tidak pantas berekspresi seperti itu. Tidak pantas marah, apalagi ketus,"

Brenada memberanikan diri mengangkat tangannya, hendak memindah beberapa helai poni panjang lelaki itu beberapa detik sebelum akhirnya mengurungkan niatnya. "Wajahmu hanya pantas digunakan untuk berbahagia, karena kamu akan terlihat begitu tampan ketika tersenyum," Lalu ia diam cukup lama lagi.

Kilasan mimpinya kembali terbesit, membuatnya pusing hingga memaksanya menyudahi kegiatan yang mungkin tidak akan bisa ia lakukan lagi setelah ini. Brenada segera berjalan kembali ke ranjang, dengan sesekali memegangi kepalanya yang terasa sedikit berat. Ia bahkan tidak menyadari bahwa ada yang tengah tersenyum dalam tidurnya, tepat setelah Brenada berbalik.

***

Denting garpu dan pisau terdengar riuh. Kedua pasangan itu tengah sarapan bersama, sebelum nanti mereka harus segera kembali melanjutkan aktifitas yang padat. Obrolan mengalir, sejalan dengan gestur-gestur yang begitu luwes dilakukan oleh pasangan pasutri pura-pura itu. Mungkin mereka sudah kembali terbiasa, hingga lupa bahwa semalam mereka baru saja berdebat hebat.

The Divorce Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang