[TDBU 25]

208 19 0
                                    

- If the Feeling Last Forever -

Brenada melepas kacamatanya lelah, seiring dengan lampu ruangan yang kembali dinyalakan. Rapat telah usai, matanya kembali memaku ke depan untuk memindai seseorang yang sedang berdiri jauh di depan. Leonard berdiri di dekat podium. Wajah dingin kembali menghiasi muka tampannya, dengan garis-garis rahang yang keras, jambang yang tumbuh halus, serta tatapan tajam yang siap menusuk siapapun.

Semua orang jelas tahu bahwa Leonard sedang dalam kondisi perasaan yang buruk sementara hanya Brenada yang tahu penyebabnya, walaupun rapat berjalan dengan baik dan selesai tepat waktu. Hingga, Brenada tak kuasa menahan senyum ketika mulai berjalan keluar ruangan. Perempuan itu kembali memutar kejadian beberapa jam yang lalu di kepalanya, saat ia menghentikan semua gerak mendesak yang Leonard lakukan karena sebuah dering telepon.

Sejak hubungan mereka membaik, mereka sering sekali menghabiskan waktu bersama. Entah hanya sekedar mencuri waktu untuk mengobrol di sela jadwal padat, sembunyi-sembunyi makan siang bersama, berlatih menembak, menjadi lawan sparring, atau bahkan menyempatkan bercinta dimanapun. Mereka melakukan rutinitas itu, berkali-kali.

Tadi, Brenda dan Leonard mengunci diri di ruang yang saat ini mereka gunakan untuk rapat. Leonard sudah nyaris telanjang, dengan gerak yang tidak sabar ingin melucuti pakaian perempuannya. Waktu mereka terbatas karena setelah ini mereka harus menyiapkan tim untuk sebuah pekerjaan besar, dan memaparkannya di dalam rapat sementara kebutuhan untuk saling memuaskan tak bisa lagi menunggu.

Leonard dengan kasar menyingkap skirt merah yang hari ini Brenada kenakan, menyelipkan tangannya ke celana dalam yang sudah lembab. Bibir mereka saling memagut. Lidah sudah membelit, menyalurkan gelitik juga jalar panas pada tubuh masing-masing. Nafas telah terengah dan payah. Tangan Brenda menjalar turun, tak ingin kalah. Ia mulai belai senjata paling Leonard banggakan untuk melumpuhkannya, yang juga sangat ia sukai. Tangannya sudah mulai naik-turun dengan cepat hingga sebuah dering terdengar.

Sebuah dering yang awalnya tidak mereka hiraukan. Hingga kemudian, Brenada mulai merasa terganggu karena dering itu meracuni suara merdu desahan mereka berdua. Perempuan itu hendak mematikannya, namun ketika melihat siapa yang menelepon, Brenada mendorong Leonard seketika.

"Hon—" Leonard masih berusaha menarik kembali perempuannya dalam buaian. Tangannya mengelus pipi Brenada, mencoba mengembalikan tatap, namun gagal. Tangan itu ditepis. "Wait, it's important, Le," Begitu saja akhir siang menggelora mereka. Hingga pekerjaan kembali merampas waktu.

Brenada sudah berjalan ke arah basement dimana mobilnya terparkir, ia tidak memikirkan hal lain selain segera pulang dan berendam air hangat karena hari ini cukup melelahkan. Namun, pikiran itu tiba-tiba hilang atau lebih tepatnya berubah 180 derajat ketika ia menyadari ada sosok lain yang masih sibuk berbincang di sudut basement, tempat beberapa pria bergerombol dengan rokoknya.

Mata perempuan itu memindai, lalu berjalan pelan ke arah mobil milik Leonard. Ia yakin betul geraknya tidak akan terlihat, karena lokasinya cukup jauh. Terdapat pilar baja di samping mobil Leonard, bertuliskan blok penanda lokasi berwarna hijau yang cukup besar. Ia mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sesuatu.

'Apakah lipstikku tertinggal di mobilmu? Tolong carikan sekarang juga,' begitu isi pesannya. Tidak lama, ia langsung mendengar suara pria itu berpamitan pada orang-orang disana. Terdengar juga langkah kaki yang terburu mendekat ke arah mobil. Hingga, tangan Brenda dengan cepat meraih tangan Leonard masuk ke dalam celah di antara mobil dan pilar.

Tentu saja Leonard waspada dengan gerak lincah langsung memutar posisi, menghimpit tubuh kecil Brenada ke pilar. Tangannya sudah mencekik leher perempuan itu, sebelum matanya membulat kaget. "Bren—" mulutnya langsung disekap oleh tangan berkuku merah itu. "Sssst! It's me," bisik Brenada.

The Divorce Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang