- Could We Believe in Life? -
Suara vital sign dari monitor pemantau terdengar stabil seiring dengan suara desau nafas lirih yang sama stabilnya di salah satu ruang VIP rumah sakit. Tubuh seorang perempuan terbaring di atas ranjang, beberapa bagian tubuhnya diperban, dengan wajah pucat dan penuh dengan lebam kebiruan.
Pintu ruangan VIP itu berderik pelan, seseorang berjas hitam masuk. Pria tegap yang mengenakan earpiece itu berjalan menuju ranjang membuat seseorang yang juga duduk di dekat ranjang menegakkan kepalanya.
"Tuan Johan meminta anda untuk meninggalkan ruangan ini,"
Lelaki yang duduk itu menatap tidak ramah. Dia hendak mengacuhkan ucapan salah satu ajudan Tuan Johan tapi ajudan itu terlebih dahulu mengatakan, "Silahkan pergi atau petinggi tidak menjamin pemulihan nyonya Brenada,"
Leonard mengepalkan jemarinya. Ia menoleh ke wajah Brenada, menatap lekat setiap bagian wajahnya yang terluka. Leonard menghela nafas sebelum mengangkat tubuhnya lalu beranjak dengan berat hati.
***
Matanya mengerjap pelan. Cahaya terang menyambutnya. Setelah itu tubuhnya bergerak pelan, namun nyeri yang ia rasakan.
"You wake up!" seru seseorang dari arah di depannya. Suaranya samar, terdengar sedikit familiar. Sosok itu mendekat ke arahnya, namun hanya buram yang dapat ia tangkap hingga ia memilih untuk memejamkannya lagi sejenak.
"Dokter!" Suara itu kembali bergema diikuti langkahnya yang tergesa. Brenada tidak tahu apa yang orang itu lakukan, namun sesaat kemudian dokter dan beberapa perawat mengerubunginya. Orang-orang itu berusaha memastikan kondisi tubuhnya dengan melakukan beberapa pengecekan.
Matanya mengerjap beberapa kali hingga saat ini sudah dapat melihat dengan jelas. Ia bisa mencerna ruangan dan orang-orang yang ada disana. Terdapat seorang dokter perempuan bernama Grace, dan dua orang perawat perempuan, sementara disisi lain ruangan terdapat...Brenada sedikit terkejut melihatnya.
"Hans?" tanya Brenada bingung. Lelaki itu tersenyum, lalu mendekat. "Jadi, bagaimana kondisinya dokter?" tanya lelaki yang bernama Hans itu.
Dokter mengajak Hans untuk keluar sembari berdiskusi, meninggalkan Brenada dalam keheningan dan kebingungan. Ia ingat semua kejadian sebelum tidak sadarkan diri, tapi mengapa perasaannya terasa aneh. Rasanya seperti—kecewa?
Tidak lama berselang, Hans kembali. Lelaki itu mendekat dan mengambil duduk di samping ranjang. "How's your feeling? Aku sungguh bersyukur kamu mampu melewati masa kritis" tanyanya berbasa-basi. Tatapannya memindai tubuh Brenada dari atas sampai bawah dengan hati-hati namun itu malah membuat Brenada tidak nyaman.
"Hans, kenapa kamu disini?" tanya Brenada balik, tidak berniat menjawab pertanyaan yang sebelumnya diajukan untuk dirinya. Perempuan itu kebingungan.
"Apakah salah jika aku mengurus temanku yang sedang terluka parah?" jawabnya tenang, dengan sorot mata teduh yang selalu Brenada kenal.
"Tapi, kenapa kamu? Bagaimana bisa?"
Hans beranjak dari duduknya. Berjalan menuju jendela ceiling to floor untuk menatap jauh ke luar, menerawang jauh. "Memang siapa lagi yang kamu harapkan, Ada?"
Pertanyaan itu serasa jawaban untuk Brenada sendiri. Ia akhirnya menyadari mengapa resah, karena bukan Hans yang ia harapkan untuk ia lihat ketika terbangun. Perempuan itu menghela nafas dalam, lelah dengan dirinya sendiri.
"Paman Johan yang memintaku untuk menyelamatkanmu. Selain itu, FBI mengirim permohonan untuk menerjukan beberapa tim perbantuan, jadi, sudah jelas bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Divorce Between Us
Fanfiction[An Alternate Universe of Ada Wong and Leon S. Kennedy] 18+ minor please respect the social guidelines Brenada Wong adalah seorang Executive Assistant Director bagian Keamanan Nasional di FBI. Ia harus kembali berhadapan dengan mantan suaminya kare...