CHAPTER 20-2 - THE DISK IN A FLOWER'S HAND

1.6K 199 15
                                    

Warning: Beberapa setting dalam chapter ini sudah mengalami perubahan sana sini untuk mendukung jalan cerita, jadi apabila ada yang mengetahui lokasi aslinya, maaf, aku harus fiksi-in sedikit jadi akan jauh berbeda dengan aslinya. Sekian. 



Selama tiga menit kami berjalan, dengan belokan sana-sini, jalan menurun ke bawah, belok lagi, masuk ruangan yang gelap lagi, semuanya kami lalui dalam diam. Tanganku memegang erat tangan Ricco, tidak ingin sampai melepaskannya barang sedetik saja. Hanya lampu di bawah lantai yang menjadi penerangan kami.

Kukira perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang panjang, tapi rupanya, sekitar satu meter di depan, aku melihat cahaya temaram.

Menyipitkan mata, aku berjalan makin cepat ke arah cahaya itu. Semakin dekat cahaya itu, semakin cepat juga jantungku berdetak. Rasanya seperti sedang masuk penjara bawah tanah saja. 10 langkah, 20 langkah...

Dan munculah ruangan yang sangat terang, oke, tidak terang-terang amat, tapi tetap saja aku dan Ricco butuh menyesuaikan diri dengan keadaan yang mendadak terang. Tapi bukan hanya itu saja yang menyita perhatian kami. Di sekeliling kami, hampir di seluruh tembok dan area kosong, terdapat banyak sekali topeng yang menurutku menyeramkan. Bukan karena aku pernah ke Venice dan melihat koleksi topeng di sana yang mirip Masquerade, tapi di sini topengnya lebih tradisional.

Ada beberapa lemari yang menampung banyak topeng berukuran kecil hingga besar, dan sejujurnya aku cukup bisa merasakan hawa tidak enak di ruangan ini. Entah itu karena aku yang ketakutan atau karena memang ada sesuatu di sini.

Yang jelas, aku merasa bulu kudukku berdiri tiba-tiba.

"Sayang, jangan takut," kata Ricco sambil merangkulku. "Tidak ada apa-apa, cuma topeng."

"Kamu tahu kan aku pernah paranoid banget sama hal beginian?"

Ricco memandangku lalu mengangguk. "Aku tahu. Karena itu, aku ada di sini. Jadi jangan takut, oke?"

"Nggak oke," kata suara itu, yang kontan membuat kami berdua menoleh ke asal suara itu.

"Gris?" kataku.

Kupandangi Gris yang berjalan mendekati kami dengan wajah penuh peluh, sepertinya ada beberapa goresan juga di tubuhnya.

"Aduh, Callen!" teriaknya bahagia, membuatku ikut berteriak senang.

"Kamu kelihatan, keren," kataku jujur.

"Aku tahu, walau tanpa alis hari ini," katanya sambil menunjuk alisnya yang rada tipis. "Tapi nggak masalah. Oh ya, Loulou kok hilang. Lou!"

"Di sini," katanya, yang muncul dengan, ohmaigat, apa bajunya robek?" Sepertinya aku bakal jadi model pakaian renang atau apa."

Ricco tertawa melihatnya. "Kamu diapain aja sama mereka, bro?"

"Entahlah, sepertinya mereka suka dengan kain bajuku, kata Gris sih kain mahal," katanya sambil mengedikkan kepala pada Gris yang mengangguk padaku.

"Iya, duh, nggak pernah lihat baju bagus, makanya disobek, mungkin juga nggak pernah lihat orang sispek." Gris berkata cuek sambil memperhatikan kami. "Kalian baik-baik saja?"

Aku menoleh pada Ricco. "Untungnya begitu. Dan kayaknya kalian juga oke. Sekarang, kenapa kalian bisa berada di sini?"

Gris menoleh ke Carlo. "Tadi kita jawab Rekor di pintu itu, dan setelah itu pintu terbuka dan kami sampai di sebuah zona, entah apa namanya..."

"Gangster Town," kata Carlo.

"Ah, iya itu." Gris menunjuk Carlo setuju. "Lalu ada sebuah pintu yang entahlah, mengarah kemari."

TFV Tetralogy [4] - Journal Of Truth (2015)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang