2

848 53 9
                                    

Giri Kamandanu
.
.
.
.
.



Dibesarkan dengan cukup merupakan suatu anugerah tersendiri bukan? Sebenarnya ini lebih dari kata cukup. Giri menatap kertas tagihan di tangannya. Biaya sekolahnya tidak terbayarkan selama dua bulan. Dan ini adalah surat peringatan pertamanya.

Seminggu yang lalu, uang ini sudah ada. Namun, bibinya yang terjatuh dari tangga membuatnya mau tidak mau mengorbankan tabungannya. Bukan maksudnya untuk tidak ikhlas. Tapi bisakah dia berharap tentang kesehatan untuk orang disekitarnya. Ia tak apa untuk makan tiga sendok nasi setiap hari. Atau ia berjalan kaki dua kilometer dari rumahnya ke sekolah. Atau harus lembur lagi sampai jam dua pagi dan kembali bangun jam lima subuh untuk bersiap sekolah. Apapun itu, ia ingin keluarganya sehat.

"Giri, sini makan. Kamu mikirin apa?"

"Tidak ada paman. Sebentar lagi Giri akan menyusul." Ia segera memasukkan kertas ditangannya dengan cepat. Semoga sang paman tidak menyadarinya.

Kakinya melangkahi lantai kayu yang reot dan berdecit. Rumah ini, peninggalan satu-satunya orang tua Giri sebelum berpulang. Tempat ternyaman yang Giri tinggali. Ia hidup bersama paman dan bibinya setelah kedua orang tuanya meninggal. Disini, ia seperti anak kandung. Giri menatap sedih figura lusuh yang tertempel di meja belajarnya. Gambar ayah, ibu, paman, bibi, dan Giri kecil. Mungkin usia delapan tahun. Paman dan bibi adalah keluarga Giri yang masih hidup.


Terkadang, melihat temannya bercanda dengan orang tuanya ia merasa iri. Bahkan jika teman sepermainannya di jahili oleh kakaknya. Sebagai anak tunggal, ia tidak pernah merasakan berebut apapun. Ia cukup bersyukur tidak memiliki saudara saat hidupnya hanya dengan kata cukup ini. Setidaknya ia hanya perlu membahagiakan paman dan bibinya yang sudah cukuo tua untuk bekerja. Terima kasih sudah mau merawat Giri dengan baik.






***







"Maafkan saya nyonya."

"BISA BEKERJA? KAMU BODOH! LETAKKAN KOPI DIMEJA DENGAN TENANG SAJA TIDAK BECUS!"

Giri menunduk tanda hormat. Mengelus lengannya yang sedikit melepuh akibat terkeda siraman kopi hitam. Matanya meremang, mendengar cacian nyonya muda di depannya.

"Maafkan pelayan saya yang kurang berhati-hati nyonya."

Manager restoran ikut menengahi, nyonya muda yang kepalang sebal memilih pergi meninggalkan restoran dengan segala umpatan yang belum juga selesai. Giri mengangkat wajahnya menatap manager restoran yang memarahinya.

"Kamu tidak berguna. Bisa lebih hati-hati. Sekali lagi salah, kamu aku pecat saat itu juga."

Giri menganggukkan kepalanya cepat. Bernapas lega saat keributan berakhir dan sang manager kembali ke ruangannya. Ia mengelap meja dan membersihkN semua yang kotor.

"Sudah, tidak usah dipikirkan. Ayo kembali bekerja."

Salah satu temannya mencoba memberikan semangat. Senyuman manis ia tampilkan guna memberi ucapan aku baik-baik saja untuk temannya. Giri lantas kembali ke belakang. Membawa semua piring dan gelas kotor lalu mencucinya sekaligus menyiram tangannya yang memerah.

"Giri harus lebih hati-hati besok. Kakak kasihan sama kamu kalau terluka seperti ini."

"Iya kak, Giri akan ingat dan lebih berhati-hati lagi lain kali."

Senyum mengembang diperoleh Giri dari seniornya. Ia mengucapkan terima kasih karena sudah mau membantunya mengobati luka di tangannya. Ia kemudian pamit. Shiftnya sudah berakhir dan ia tinggal membuang sampah sekalian berjalan pulang. Giri menunduk hormat kepada temannya yang lain lalu mengangkat sekantong besar sampah menggunakan kedua tangannya.

Rasa sepi melingkupi langkah kakinya. Tempat sampah utama memang cukup jauh. Ia harus memutar dari pintu belakang restoran lalu berjalan beberapa meter lagi. Dan sekarang ia harus mengulang jalannya yang tadi terlewat untuk pulang kerumahnya.


Matanya menatap memicing, mencoba melihat di kegelapan malam. Ah, dua bandit yang biasanya menjarah orang yang lewat sedang beraksi sekarang. Ia cukup bingung harus berbuat apa. Memilih mengendap-endap mendekat untuk memahami dan membuat rencana penyelamatan.


Disana, ia melihat dua orang bandir bertubuh besar dan gemuk sedang menghadang jalan seseorang. Dilihat dari pakaian yang ia gunakan, sepertinya memang orang berada. Apalagi dengan tentengan dua buah koper cukup besar. Tentu saja membuat bandit-bandit tertarik.


"PERGILAH!"

Giri kaget, seseorang yang sedang dihadang tiba-tiba berbicara. Atau memang dirinya yang baru mendengar percakapan mereka? Ia menatao sekeliling. Menarik napas sedalam mungkin untuk berteriak.

"TOOOLLOOOOOOONGGGGGGG !"


Sekuat tenaga Giri berteriak. Berharap membuat oara bandit itu takut dan membangunkan beberapa orang untuk berjaga tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Ia mulai berlari mendekat setelah mengetahui para bandit itu kabur karena teriakannya.

Giri dibuat takjub. Orang ini. Memukau.

Ia tidak bisa berpikir apapun lagi. Tubuhnya tersentak saat kepalanya di usap atu ditepuk pelan. Entahlah, Giri juga tidak terlalu yakin. Kejadiannya begitu cepat sampai orang itu sudah berjalan menjauh. Giri menangkup wajahnya yang panas. Jantungnya berdebar kencang. Ada apa dengan dirinya?

Matanya masih menatap. Seseorang dengan sepatu boots hitam melangkah menjauh, orang itu memakai celana bahan hitam, dan juga kemeja warna hitam yang di balut dengan mantel Coklat besar. Rambut hitamnya tersugar rapi ke atas. Wajahnya yang tampan dengan kulit putih dan hidung mancung. Jangan lupakan sorot mata setajam elang. Siapapun pasti akan terpesona hanya dengan beberapa detik melihat. Dan itu terjadi pada dirinya.


Giri menggeleng ribut lalu tersenyum kecut. Ia membuang jauh angannya yang sudah melambung. Memilih memutar tubuhnya untuk segera pulang. Hari semakin larut. Paman dan bibinya pasti khawatir karena ia pulang jauh dari waktu yang seharusnya.

Seseorang itu bukan untuknya. Tidak mungkin.










. To be continued
.
.
💜

SANG DOMINAN // FOURTHGEMINI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang