5

661 51 7
                                    

Bocah payung
.
.
.
.
.



"Bocah! Kau jadi ojek payung sekarang?"

"Selamat malam tuan tampan."

Hati Feral sedikit senang mendengarnya. Entah kenapa setiap bertemu bocah ini dia akan merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Ia juga bingung. Beberapa kali Feral akan dengan sengaja pergi ke daerah sini untuk sekedar bertemu walau hanya sebentar.

"Jawab pertanyaan saya dulu bisa?"

"Tuan sedang apa disini? Kenapa kita sering bertemu ya? Tuan mau jadi jodoh saya tidak?" Cengiran khas mulai muncul. Seperti biasa, Feral akan menoleh kesamping agar tidak ikut tersenyum.

"Untungnya apa buat saya?"

"Tuan pura-pura tidak paham ya?"

Feral menegrutkan keningnya dalam. Ia merasa benar-benar tidak ada untungnya buat dirinya.

"Nah tepat! Pikiran tuan benar! Tidak ada untungnya buat tuan."

Tawa bocah itu tanpa sadar membuatnya tersenyum simpul.

"Ah! Tuan tersenyum! Itu keuntungan buat tuan!" Feral berdehem pelan guna menetralkan ekspresinya. Bocah ini berbahaya. Pikirnya.

"Tuan, saya bukan ojek payung. Tadi ibu itu sedikit pucat jadinya aku bantu. Aku diksih uang sepuluh ribu. Lumayan buat makan besok."

"Uang sepuluh ribu dapat apa?" Feral dapat melihat tatapan sinis bocah didepannya. Ia merasa tidak salah bicara sekarang. Kenapa ekspresinya seperti tidak suka begitu? Tunggu dulu! Kenapa juga dia memikirkan bocah ini kesal atau tidak!

"Tuan! Uang ini bisa buat beli nasi sama lauk! Tuan punya banyak uang sih, jadinya pasti tidak tau."

Feral menatap aneh. Pertanyaannya dijawab dengan sedikit ketus awalnya. Namun diakhir ada senyum lucu yang terlihat. Apa? Lucu? Feral menampar pipinya pelan. Pikiran anehnya muncul lagi.

"Tuan, anda aneh sekali! Kenapa menampar pipi sendiri. Sini saya bantu tampar saja!" Lagi-lagi cengiran tanpa dosa itu muncul. "Emang kamu berani?"

"Tentu saja tidak!"

"Tuan, Ngomong-ngomong kita kenapa berdiri sambil ngobrol disini?"

"Bocah! Kenapa juga kamu mau ngobrol sama saya?" Feral menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi. Ia sebenarnya juga tidak memahami dirinya sendiri saat ini.

"Kalau saya sudah pasti karena tuan tampan. Jadinya saya betah disini. Kalau tuan kenapa?"

"Kamu lucu. Saya bosan dan sedang menunggu dijemput." Kalimat pertama adalah yang muncul di otaknya. Sedangkan kalimat berikutnya adalah alasan yang paling masuk akal yang bisa ia berikan. Ia menyadari. Bersama bocah ini, ia bertingkah berbeda dari biasanya. Ia menjadi lebih banyak bicara.


"Seandainya saya menemani tuan sampai dijemput, saya dapat uang tidak?"

"Kamu mau malak saya?"

Bocah itu mengibaskan tangannya tepat didepan wajah sambil menggeleng pelan. "Saya sedang bertransakisi sekarang. Saya menemani dan tuan membayar. Cukup adil kan?"

"Mau dibayar berapa?" Bocah itu mengangkat jari telunjuknya. Satu juta. Ia benar-benar diperas.

"Banyak sekali? Kita berbincang tidak sampai lima jam!"

"Seratus ribu terlalu banyak ya?" Bocah itu menunduk sedih. Feral salah mengira ternyata. Ia mengeluarkan uang dari dalam dompet lalu mengambil dua lembar uang seratus ribu. "Buatmu bocah! Temani aku sebentar lagi. Supirku akan datang."

Senyuman senang Feral lihat pada wajah bocah didepannya. Uang segitu cukup berharga untuk orang lain ternyata.

"Tuan?"

"Apalagi?"

"Besok datang ke cafe itu ya?" Feral mengikuti telunjuk bocah didepannya. Cafe yang cukup luas dan sepertinya bangunan baru.

"Tadi kamu memalak saya, sekarang menyuruh saya?"

"Bukan! Saya kan cuma menawarkan. Tidak datang juga tidak akan ada masalah. Sekarang saya bekerja disana sepulang sekolah. Lumayan dapat intetnet gratis dan pulang boleh bawa roti." Penjelasan oenuh semangat Feral lihat dengan jelas. Senyuman kecil diwajahnya tidak dapat ia sembunyikan lagi sekarang. "Iya, kalau saya luang nanti akan mampir."

"Traktir saya roti dan minum ya?"

"Awalnya pemalakan, terus menyuruh saya, dan sekarang minta traktir saya juga. Apa yang kamu rencanakan bocah?"

"Saya kan mau bertemu tuan setiap hari. Jadinya begitu. Hehe" Bocah itu terkekeh pelan. Feral mengiyakan saja. Ia juga merasa aneh. Kenapa ia menuruti permintaab ini dari awal.


Perbincangan terus berlanjut. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam dan mobil Feral sudah siap tepat didepannya dengan pintu penumpang yang dibukakan oleh supirnya.


"Tuan hati-hati dijalan." Feral tidak menghiraukannya. Ia langsung masuk ke dalam mobil dan menyuruh sopirnya untuk segera pergi darisana. Ia merasa dengan bocah itu, keadaan akan semakin sulit untuk pergi. Feral juga tidak paham semua ini.







.
.
. To be continued ❤️
.
.

SANG DOMINAN // FOURTHGEMINI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang