28. White Memories

550 55 3
                                    


Cuaca cerah tak berawan. Sinar pagi menjamputnya, menyinari wajahnya. Megumi berjalan mengenakan sebuah kimono putih yang nampak elegan di lekuk tubuhnya. Ditangannya ada sebuah vas bunga yang kemarin malam baru selesai ditatanya. Megumi hanya bisa memaklumi suami yang tak memberi komentar apapun terhadap karyanya. Entah ocehan apa lagi yang hari ini akan didapatnya dari si wanita tua bangka yang sudah hampir sebulan berusaha membuat hidupnya di mansion susah.

Dalam perjalanannya menemui wanita tua tersebut. Megumi suka melewati kolam ikan Koi yang sederhana namun indah. Dia mampir sebentar lalu memutuskan duduk di pinggir kolam. Ia berhati-hati meletakan vasnya agar tak pecah atau rusak tatanannya. Sementara Michiru menunggu sambil berdiri di dekatnya.

Nyonya muda keluarga Gojo ialah pemuda cantik yang berkepribadian teduh. Sekilas nampak tak jauh berbeda dari remaja tampan lainnya tetapi ketika menatapnya lebih seksama. Mereka akan menyadari auranya yang jauh berbeda dari para rakyat jelata.

Michiru memperhatikan bagaimana tuannya tersenyum kecil ketika melihat sepasang ikan koi berenang mendekatinya. Dia pernah mendengar kalau tuannya menyukai hewan, terutama hewan-hewan kecil berbulu. Tatapannya ketika berinteraksi dengan ikan-ikan sangat lembut dan ramah. Sangat berbeda dengan ketika tuannya itu diajak berbicara dengan kerabat suaminya.

Kulit putih mulusnya bagaikan mutiara yang bersinar di bawah sinar matahari pagi. Bahkan setiap helai rambut hitamnya seolah bersinar bagaikan emas dan perak.

Para pelayan yang lainnya sampai menyempatkan diri mereka untuk melirik Megumi. Mengagumi ciptaan Tuhan yang telah membuat majikan mereka tergila-gila olehnya.

"....sebentar lagi musim dingin tiba," ujar Megumi lalu beranjak berdiri dan menoleh ke arah pelayannya. "Sebelum udaranya terlalu dingin. Pindahkan mereka ke aquarium di dalam rumah," pintanya seraya mengangkat kembali vas bunganya.

Michiru tak kunjung membalasnya. Pelayannya itu seperti melamun sambil menatapnya. Membuat Megumi merasa heran dan akhirnya memanggil namanya, "Sawamura-san?" sekali di depannya untuk menyadarkannya. "Apa kau mendengarku? Kau bisa minta tolong Tanaka-san untuk membantumu memindahkan ikan-ikan Koi itu," imbuhnya.

"O-oh. Baik Megumi-sama. Saya akan mengerjakannya setelah menyiapkan sarapan untuk Toushu-sama," jawab Michiru sambil membungkuk dalam.

Megumi terdiam sebentar mengamati tingkah aneh wanita tersebut. Entah apa yang membuatnya sampai gelagapan seperti itu? Tanyanya dalam hati.

"Apakah hari ini Megumi-sama tidak akan sarapan bersama Toushu-sama?"

".....tidak usah. Biarkan Satoru-san makan duluan. Karena hari ini jadwalnya padat. Selagi aku menyapa nenek. Sebaiknya kau pergi membantunya dulu sebelum Ijichi-san datang menjemputnya," jawab Megumi lalu menghela nafas.

"Dia pria dewasa. Kenapa masih harus diasuh seperti anak umur lima tahun?" keluhnya kemudian sambil menggelengkan kepala. "Pergilah duluan. Aku tidak mau melihat Ijichi-san menangis lagi karena dia terlambat," pintanya kali ini terlihat lebih frustasi ketika mengingat terakhir kali Satoru telat untuk perjalanan bisnisnya.

"Baik. Saya mengerti Megumi-sama...."

Setelah itu pelayan tersebut pergi melaksanakan tugasnya. Megumi masih melihatnya berjalan pergi untuk beberapa detik lalu barulah memutar tubuhnya ke arah tujuannya. Kalau dipikir kembali. Entah mengapa walaupun sudah memiliki banyak pelayan tetapi dia merasa jauh lebih lelah ketimbang saat masih tinggal sendirian di asrama sekolah?

Biasanya jam segini Yuuji akan datang mengetuk pintu kamarnya dan mengajaknya pergi makan di kantin bersama Nobara. Setelah makan mereka akan latihan bersama di lapangan. Kalau mendapatkan misi mereka bertiga akan berangkat bersama. Sesekali di perjalanan atau bahkan di tengah misi Yuuji dan Nobara masih bisa memperdebatkan banyak hal sepele yang ujung-ujung malah membuat mereka berdua bertengkar.

Nobara suka ringan tangan. Biasanya gadis itu tak segan menguji ketahanan tubuh Yuuji yang kerasnya minta ampun.

Dulu untuk setiap harinya dia terusik oleh kebisingan dan kebodohan mereka. Belum lagi kalau Inumaki dan Panda ikut-ikutan bergabung dengan mereka.

Sekarang dia sendirian. Berada di mansion mewah yang dipenuhi oleh orang-orang asing bermata dingin dan berlidah tajam. Hanya Satoru yang dikenalnya. Satu-satunya orang yang bisa dijadikannya sebagai perapian yang sayangnya suatu hari nanti akan membakarnya habis sampai ke tulang-tulangnya.

Megumi merindukan masa-masa ketika dia masih bisa berkumpul dengan anak-anak lainnya. Tetapi dia tak berani mengatakannya ataupun mengidamkannya. Karena ketika dia mengakuinya maka dia akan berakhir menyesali keputusannya ini.

Ketika Megumi berjalan dengan wajah murung, langkahnya lalu berhenti. "Selamat pagi Megumi," suara lembut seorang wanita menyapanya.

"...selamat pagi haha-ue," Megumi pun membalas sapaan ibu Satoru yang kini adalah ibu mertuanya.

Wanita paruh baya itu tersenyum kalem seraya mendekat. Lalu dia melihat vas bunga yang di bawanya. "Megumi rajin sekali," pujinya sambil bertepuk tangan pelan. Dan Megumi akan berterima kasih akan pujian tersebut apabila ibu mertuanya tidak melanjutkannya dengan komentar, "Untuk seseorang yang awalnya menolak untuk menikahi monster itu. Kau berjuang terlalu keras."

Megumi tidak merasa aneh sedikit pun.

Setelah meluangkan waktunya untuk berinteraksi dengan penghuni mansion ini. Megumi jadi lebih yakin rumah suaminya bukanlah rumah sungguhan untuk suaminya mengistirahatkan dulu setelah lelah menyelamatkan dunia. Melainkan medan perang yang mana penghuninya akan menusuk satu sama lain selama itu menguntungan bagi mereka.

Rumah ini tidak ada bedanya dengan sarang kutukan di luar sana. Sekarang Megumi lebih mengerti mengapa Satoru kurang suka ketika dirinya terlalu terlibat dengan para penghuni rumah.

Dari para pelayan maupun para kerabatnya. Mereka semua menyembunyikan sebilah pisau di belakang punggung mereka. Menunggu sampai monster raksasa yang menguasai rumah mereka lengah dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk menusuknya dari belakang.

".....mau monster atau bukan dia tetap suamiku. Sebagai istrinya setidaknya aku harus membuat rumah ini layak untuk di tinggalinya," jawab Megumi. "Terakhir kali ini dia mengeluh padaku. Walau sudah memasuki musim dingin tatapi rumah ini dipenuhi rayap. Mungkin karena rumah ini sudah terlalu kuno? Sebaiknya setelah ini aku bersih-bersih rumah."

Mau setebal aspal atau karet ban truck sekalipun muka seseorang. Mereka pasti bisa merasakan sarkasme yang dilontarkannya dengan senyuman. Lihatlah betapa merah wajah wanita tersebut. Mungkin karena harga dirinya tersakiti lantas wanita itu langsung pergi tanpa mengatakan apapun lagi.

Megumi pun menghela nafas lega. Walau dia berani menantang siapapun di rumah ini tetapi dia tidak ingin menarik perhatian Satoru yang masih belum berangkat kerja. Bakal runyam kalau Satoru memutuskan tetap tinggal di rumah cuma karna alasan dia ingin melindungi istri mudanya yang mungkin saja dibully kerabatnya. Jangankan Ijichi, kepala sekolah akan ikut-ikutan mengomelinya.

Padahal saat pertama kali ia bertemu dengan ibu Satoru dan berbicara dengannya. Megumi berharap wanita paruh baya yang cantik dan nampak berperangai lembut itu berbeda dari kerabat lainnya. Tetapi sepertinya justru perempuan itulah yang paling membenci eksisteni Satoru.

Ayah dan ibu Satoru mempunyai surai hitam dan mata coklat seperti kebanyakan orang asia timur. Setiap penghuni di rumah ini. Semuanya memiliki penampilan sebagaimana orang-orang Jepang kebanyakan. Hanya Satoru yang berbeda. Menyadarinya membuat hati Megumi berdenyut sakit. Memikirkan adanya kemungkinan ketika Satoru dilahirkan di dunia ini kedua orang tuanya meragukan eksistensi nya. Mungkin bagi mereka teknik kutukan legendaris yang diwariskan padanya setelah ratusan tahun lamanya menghilang dari klan yang membuktikannya dia adalah salah satu anggota klan Gojo.

"......kurasa sudah cukup aku menghibur wanita tua itu," gumamnya setelah berubah pikiran. Megumi tidak jadi menawarkan vas bunga bikinannya. Malahan dia pergi membuang semuanya ke dalam tong sampah besar. Tanpa peduli apabila karyanya tersebut membuatnya bergadang semalaman.

Entah mengapa tiba-tiba dia ingin melihat wajah bodoh Satoru. Setidaknya untuk menghilangkan efek imajinasi sedih yang baru saja terlintas dibenaknya. Dia ingin mendengar dan melihat senyuman menyebalkan Satoru.

tbc   

Negative PossessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang