23 : Sebuah Fakta

1.5K 181 70
                                    

Setelah mendengar bel sekolah berdering yang menandakan bahwa pelajaran kedua akan segera di mulai, para murid pun kembali ke kelas masing-masing. Mereka duduk sembari menyiapkan buku materi yang akan dipelajari kali ini. 

Seharusnya memang begitu, tapi tidak berlaku bagi gadis yang kini sibuk memanjat tembok belakang sekolah, ingin bolos ceritanya. 

"Berengsek! Bikin tembok tingginya gak ngotak!" omel Venus setelah berhasil melewati tembok pembatas tersebut. 

Takut aksinya diketahui oleh penjaga sekolah, Venus berbalik ingin meninggalkan area sekolah secepatnya. Itu adalah niatnya, jika saja dirinya tidak menabrak sesuatu yang dirinya rasa seperti menabrak benda kokoh. 

Mendongak ke atas dan betapa terkejutnya Venus saat dirinya tahu apa yang ditabrak olehnya. Itu adalah seorang pemuda. Keduanya beradu pandang seolah mengobservasi satu sama lain. Namun, tidak berlangsung lama sebab dengan cepat Venus memutuskan kontak mata. 

Gadis itu berlalu layaknya tidak ada yang terjadi. Venus berjalan cepat, berharap pemuda itu juga menganggapnya angin lalu. Yah, lagi pula ia sudah memutuskan bahwa hari ini tidak akan berurusan dengan karakter mana pun yang membuatnya pusing tujuh keliling. 

Sementara, si pemuda masih diam di tempat. Memperhatikan punggung yang semakin menjauh dari pandangannya. 

Kembali ke gadis berzodiak aries alias Venus. Sedari tadi ia berjalan tak tentu arah, tidak tahu tujuannya ke mana. Yang dipikirkannya tadi hanya ingin bebas dari hal-hal berbau drama, apalagi kisah cinta sang sahabat yang sedang mekar-mekarnya.

Dari Venus menginjakkan kakinya di sekolah sampai jam istirahat selesai, Kiana tak henti-hentinnya mengoceh membicarakan pujaan hatinya yang Venus sendiri tidak siapa orangnya. Belum lagi Vanca yang terus-menerus mengekorinya layaknya anak itik yang baru menetas. 

Menghembus napas lelah, akhirnya Venus menghentikan langkahnya. Dan di sinilah dia, duduk di bangku yang toserba sediakan untuk pelanggannya. 

Dalam diamnya, Venus memperhatikan sekitar. Hiruk pikuk kota yang sudah menjadi pemandangan biasa bagi penduduknya. Dari jenis kendaraan kelas atas sampai yang sudah terlihat seperti rongsokan berlalu lalang mengejar urusan masing-masing. Pun kepulan asap dari berbagai jenis kendaraan itu tak ayal membuat udara tercemari karenanya. 

Venus memejamkan matanya, menikmati semilir angin menyapa wajahnya. Berbeda jauh dengan benderang perang pikirannya yang sedari terus berisik. Memikirkan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dan berbagai hal lainnya. 

Salah satu hal yang mengganjal adalah kekosongan hatinya. Bohong jika ia baik-baik setelah melihat sikap orang tuanya, bohong jika ia tidak mendambakan kasih sayang orang tuanya, dan bohong ... jika ia tidak iri pada Vanca. 

Entah dirinya yang haus akan perhatian atau perasaan Electra masih menyatu dalam tubuhnya. Venus tidak tahu. Namun, yang pasti jika mengingat kejadian semalam saat sang ibu datang ke kamarnya untuk bicara empat mata, rasanya mati tenggelam tidak buruk juga. 

"Kamu masih sama. Masih berdiri di belakang, Vanca. Ngejadiin Vanca tameng atas semua ketidakmampuan kamu. Harusnya kamu sadar, Ven. Vanca akan muak pada akhirnya kalo kamu gak bisa apa-apa."

Jelas kalimat jahat itu ditunjukkan untuk si pemilik tubuh, yaitu Electra. Seharusnya Venus biasa saja dan menjawabnya dengan kalimat pedas juga, semantap janjinya yang akan mengubah kepribadian Electra untuk jadi lebih berani. 

Nyatanya, lidahnya kelu. Dirinya hanya mampu menelan mentah-mentah kalimat yang tak pantas didengar itu. Seolah, ia dan Electra tidak ada bedanya. 

Lagi, hembusan napas kasar lolos dari bibir Venus. 

ZENNUS: ZvezdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang