¡Hola! ¿Cómo estás?
Kali ini mau kasih penjelasan singkat biar gak bingung.
Di sudut pandang Venus sebagai pembaca novel Je Te Veux, peran Zen ini masih abu-abu alias Venus gak tau sebenernya Zen ini dapat peran apa. Entah itu SML, Villain, atau malah cuma karakter pembantu untuk ngenyangin fantasi pembaca lain. Tapi, yang pasti setiap Venus di dekat Zen tuh hawanya ngeri-ngeri sedep karena Zen digambarin sebagai karakter paling misterius dan muka dua di novelnya. Apa lagi liat tingkah Zen yang aneh dan suka senyam-senyum mencurigakan, especially setiap mereka ketemu, Zen selalu minta Venus nangis, makin buat Venus maju mundur untuk berurusan sama dia. Tapi, di satu sisi Venus punya simpati besar ke Zen karena dia sedikit tau tentang latar belakang Zen.
Masih bingung? Ya, gak papa. Nanti gak bingung kalo udah di surga.
-Happy Reading Y'all-
***
Masih di tempat yang sama, yakni halaman belakang sekolah. Kini Venus duduk di kursi yang berjarak beberapa langkah di mana Zen duduk. Sejak kecanggungan yang sebelumnya terjadi keduanya memilih diam dan berkutat dengan urusan masing-masing.
Melalui ekor matanya, gadis itu diam-diam memperhatikan Zen yang sedang menatap lurus ke depan. Berkaca dengan nasib yang dilalui oleh pemuda itu rasanya keluhan yang dilakukan oleh Venus setiap harinya hanyalah hal sepele.
Ya, setidaknya Venus pernah merasakan peran orang tua yang utuh meski tidak abadi. Tapi, bagaimana dengan pemuda itu?
Kehadiran orang tua dalam perkembangan jiwa anak sangatlah penting. Sikap dan perilaku orang tua mempengaruhi dalam memperlakukan anak. Bila anak kehilangan peran dan fungsi orang tua, maka anak kehilangan haknya untuk dibina, dibimbing, diberikan kasih sayang, perhatian dan sebagainya.
Lahir dari garis keturunan pebisnis tidak menjadikannya bisa hidup semena-mena dan seenaknya. Jalan hidup Zen sudah diatur dengan sempurna, bahkan sebelum dirinya dilahirkan. Kasarnya, Zen hanya dianggap sebagai alat investasi masa depan keluarga.
Sebagai generasi ketiga Aldric, Zen terus dihajar dengan pelajaran yang seharusnya belum dia pelajari. Orang tuanya hanya peduli sekedarnya. Belum lagi perlakuan kakeknya yang begitu kejam dalam mendidik membuat anak berusia belia itu tidak dapat berkutik barang sedetik pun.
Sejak Zen bisa berpikir dengan akal sehatnya, ia menyadari bahwa hubungan antara kedua orang tuanya didasari oleh hubungan bisnis dan keterpaksaan. Sudah menjadi hal lumrah bagi dirinya mendengar suara teriakan serta lemparan barang di kediamannya.
Meski begitu, tidak pernah sekali pun Zen mempertanyakan haknya. Zen sudah terbiasa, sehingga ia tidak banyak menuntut dan menerima takdirnya begitu saja tanpa banyak mengeluh.
Hanya sebanyak itu yang Venus tahu tentang latar belakang pemuda yang memiliki banyak misteri dikisahnya. Dan, Venus baru menyadari sesuatu.
Ah, gak mengherankan kalau kepribadiannya itu aneh. Kalau gue jadi Zen, gak gila aja udah untung.
Batin Venus bersimpati.
"Ada apa?" tanya Zen. Baru menyadari bahwa gadis di sebelahnya memperhatikannya sedari tadi.
Venus mengedip mata. Butuh beberapa waktu baginya untuk membalas pertanyaan Zen. "Sekarang mendung dan bentar lagi hujan. Lo gak ada niat pergi?" ke tempat persembunyian lo, lanjutnya dalam hati.
Zen mendongak ke atas, melihat langit yang diselimuti awan keabuan itu sebentar. Lalu, menjawab, "Hari ini gak akan hujan. Jadi, gue mau di sini lebih lama."
KAMU SEDANG MEMBACA
ZENNUS: Zvezda
Dla nastolatkówTidak pernah terlintas dalam pikiran Venus Arinka bahwa takdirnya mati tenggelam setelah mencoba menyelamatkan saudari tirinya. Tapi, siapa sangka jiwanya malah terlempar ke salah satu tokoh novel Je Te Veux, tokoh yang memiliki nama depan yang sama...