-Happy Reading Y'all-
***
Ke esokkan harinya seperti biasa Venus berangkat menggunakan sepeda miliknya. Memarkirkan sepeda di tempat yang masih kosong, kemudian bergegas pergi dari sana. Sesampainya di koridor dia menoleh kanan dan kiri untuk mencari keberadaan seseorang.
"Nah, tuh orangnya."
Venus berlari ke arah orang yang dicarinya sembari berteriak memanggil nama orang tersebut.
"Woy, Erzen!"
Namun, tampaknya orang yang dipanggilnya itu tidak mengidahkan panggilannya.
"Budek lo? Gue panggil gak nengok." cibirnya sesampainya dia di samping pemuda yang dicarinya.
Mendengar suara di sebelahnya membuat pemuda itu menoleh, mendapati Venus yang berjalan menyamai langkahnya. "Nama gue Zen, bukan Erzen," katanya. Dia memang mendengar seseorang menyebut nama Erzen, namun karena merasa itu bukan namanya membuat Zen cuek saja.
"Sama aja," balas Venus. Lagian itu 'kan singkatan dari nama lo, Eros Zen, lanjutnya dalam hati.
Selanjutnya tidak ada lagi percakapan di antara keduanya. Mereka sama-sama diam terbuai dengan pikiran masing-masing.
Venus diam-diam memperhatikan pemuda yang jalan di sebelahnya lewat ujung matanya. Tubuhnya tegak dan tingginya sekitar 183 cm. Wajahnya yang tanpa ekspresi itu lurus ke depan tanpa merasa terganggu oleh tatapan lapar para siswi yang dilewatinya, seolah itu sudah menjadi kebiasaan baginya. Sesekali dia akan mengumbar senyum ramah para orang yang menyapanya.
Mau sesinting apa pun karakternya, Venus akui bahwa pemuda di sebelahnya ini memanglah tampan dari sudut pandang mana pun.
"Kayaknya lo paling lemah di antara anggota Rex lain, ya?" celetuk Venus memecah keheningan.
"Maksud lo?" Zen bertanya tanpa menoleh.
"Ya, liat aja kondisi lo."
Ketimbang anggota Rex yang Venus lihat kemarin, kondisi Zen memang terlihat lebih parah. Mulai dari bibirnya yang sedikit sobek, luka kecil di bawah mata, dan ada sedikit lebam di dahinya, serta luka di kepalan tangannya itu seperti sehabis menonjok tembok berulang kali.
Venus tidak bisa membayangkan betapa perihnya luka itu jika terkena air.
Pemuda itu tidak membalas ucapan Venus, dan Venus sendiri pun tidak berniat mengorek isi pikiran pemuda di sebelahnya, karena dirinya cukup tahu penyebab mengapa kondisi Zen terlihat lebih parah ketimbang temannya yang lain.
Lagi-lagi keduanya terlarut dengan pikiran masing-masing hingga tak terasa sudah berada di depan kelas yang bertuliskan IPA 1, yang mana itu adalah kelas Zen.
Zen menoleh ke arah Venus dengan tatapan menyuruhnya untuk enyah dari hadapannya. Venus yang melihatnya cukup mengerti akan hal itu.
Sebelum pergi dari sana gadis itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
"Nih, buat lo." Venus menyerahkan 5 lembar plester bergambar Pororo ke tangan Zen. Setelahnya, dia pergi meninggalkan Zen sendirian.
Ya, meski Venus tidak ingin terlibat dengan Zen, tapi mengingat plot novel masa lalu dari pemuda itu membuat dirinya merasa bersimpati. Bagaimana pun, setiap manusia berhak mendapatkan perhatian dan kasih sayang.
Zen termangu di tempat dengan menatap lembaran plester di tangannya. Tidak menyangka bahwa tujuan gadis itu mengikutinya sedari tadi hanya untuk memberikan pembalut medis kecil ini untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZENNUS: Zvezda
Fiksi RemajaTidak pernah terlintas dalam pikiran Venus Arinka bahwa takdirnya mati tenggelam setelah mencoba menyelamatkan saudari tirinya. Tapi, siapa sangka jiwanya malah terlempar ke salah satu tokoh novel Je Te Veux, tokoh yang memiliki nama depan yang sama...