26 : Saran

1.5K 139 8
                                        

Sudah sekitar lima menit seorang gadis berdiri di luar gerbang sekolah sambil memohon pada satpam yang berjaga. Tidak lupa memasang wajah memelas agar diizinkan untuk masuk, tapi si satpam terus menggeleng, lantaran dispensasi untuk masuk telah habis. 

"Buka gerbangnya dong, Pak. Please!

"Gak bisa, Neng. Waktunya sudah habis." 

Tidak kehabisan akal, Venus mencoba bernegosiasi sambil mengeluarkan dua lembar uang kertas berwarna merah. Ia berkata, "Gini aja, deh. Saya kasih kertas gambar senyuman dua bapak-bapak ini, Pak Yanto bukain gerbangnya. Gimana?"

"Maaf, Neng. Gaji saya sudah lebih dari cukup untuk nerima yang kayak gituan," tolak Pak Yanto mentah-mentah. 

Pak Yanto pun sebenarnya merasa kasihan pada gadis yang terlihat putus asa itu. Namun, ia sudah diberi amanah bahwa peraturan sekolah berlaku bagi setiap warganya, sehingga Pak Yanto tidak dapat berbuat apa-apa selain mematuhi peraturan.

Sungguh beruntung orang-orang yang bisa mempekerjakan para pekerja yang dapat dipercaya dan menjaga amanat. Kapan lagi bisa bertemu orang jujur seperti Pak Yanto di zaman yang apa-apa keluar dana dulu baru mendapat apa yang dituju.

Tapi, di waktu mendesak seperti ini tidak ada untung-untungnya bagi Venus sendiri. Pelajaran pertama hari ini adalah Sejarah Wajib dan yang mengajar adalah Bu Tifa; guru paling cerewet di antara guru lainya. Jika beliau melihat satu saja muridnya tidak ada dan tanpa keterangan, habislah sudah. Pasti Bu Tifa akan mengungkit hal tersebut sampai beberapa pertemuan berikutnya. 

Sial! Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduknya merinding.

Bibir Venus mencebik. Sudahlah, tidak ada gunanya juga memohon, dan lagi pula aksi suap menyuap itu tidak baik.

"Ya udah, deh, Pak. Terima kasih telah memberiku harapan palsu," ucap Venus menyerah. Kembali memasukkan uang dua lembarnya ke dalam saku rok. "Saya pamit." Lantas, Venus pergi setelah berpamitan dan menjauh dari gerbang sekolah.

Dramatis sekali anak zaman sekarang. 

Pak Yanto membatin seraya menggeleng kepala. 

Berpikir gadis berzodiak Aries itu akan menyerah? Oh, tidak. Kali ini dia berada di tempat yang sama ketika dirinya membolos kemarin. Sebelum meluncurkan aksinya, Venus mengawasi area sekitar terlebih dahulu. Merasa aman, ia pun naik ke bebatuan yang sebelumnya telah disusun olehnya. Kemudian, melompat mencoba untuk meraih atas tembok. 

Come on! Tingginya 167 cm, dan sudah dibantu bebatuan untuk memanjat tembok. Kenapa terasa sulit sekali?!

Batin Venus kesal. 

Tapi, bukan Venus namanya jika menyerah begitu saja. Dia berusaha berulang kali, sesekali mencari bebatuan untuk menambah pijakannya. Sampai usahanya itu terpaksa terhenti karena sesuatu.

"ARGH"

Venus memekik keras, namun segera ditahan dengan satu tangan, sementara tangan lainnya meraih atas tembok untuk pegangan, takut ketahuan juga takut jatuh. Sebab, tubuhnya saat ini tidak menginjak batu alias mengambang. 

Pandangannya turun, melihat siapa yang berani menginterupsi aksinya. 

Mata Venus membelalak seketika mengetahui siapa pelaku yang secara sembarangan menyentuh pinggangnya. Sejak kapan orang gila itu ada di sini?! 

"Gila ya, lo?!" Kala Venus hendak melepaskan diri, Zen menekan kedua sisi pinggang sempit sang gadis, pertanda bahwa ia tidak boleh banyak bergerak. 

"Mau naik 'kan? Gue bantu."

ZENNUS: ZvezdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang