"Dari mana kamu jam segini baru pulang?" Pertanyaan menuntut terlontar kala melihat si bungsu baru saja melangkah tungkainya masuk ke dalam rumah.
Kontan Venus menghentikan langkahnya, melirik sekilas jam tangannya yang menunjukkan pukul 08.12 PM. Empat jam setelah pulang sekolah. Seragam pun masih lengkap menempel di tubuhnya, serta tas bertengger di bahu kanannya.
Kemudian, mengalihkan atensi pada dua orang yang berada di ruang tamu.
"Dari rumah temen," jawabnya enteng menanggapi pertanyaan Tamara.
"Kamu pikir ini sudah jam berapa, Venus?!"
"Jam 8 malam. Memangnya gak liat ada jam segede gaban di depan kalian?" Dagu Venus menunjuk ke arah jam dinding yang sengaja dipasang di atas TV. Wajahnya begitu tenang seolah tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakan olehnya. Saking tenangnya, sampai mampu membuat lawan bicaranya naik darah.
"Vanca sudah ada di rumah dari empat jam yang lalu, dan kamu baru pulang. Gak izin, gak apa. Pulang seenaknya. Kamu ini anak perempuan. Mau jadi apa kamu di masa depan nanti?!"
Venus memutar kedua bola matanya mendengar ocehan Tamara. Berisik amat, kayak yang sebelumnya peduli aja.
"Jangan berlagak sok peduli. Mau aku jadi apa di masa depan juga bukan urusan kalian."
"Tentu kami peduli, karena kamu anak kami," sela Tian.
Entah apa yang salah, tapi Tian dan Tamara merasa ada yang berbeda dengan anak bungsunya. Tidak ada Venus yang diam dan menunduk ketika dimarahi, tidak ada juga Venus yang berucap kata maaf berulang kali ketika dikonfrontasi, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang sering dilakukan oleh gadis itu. Kini hanya tersisa Venus yang berdiri dengan menantangnya menatap keduanya dengan penuh berani.
"Seandainya kamu melakukan hal memalukan di luar sana, siapa yang akan terkena imbasnya? Kami! Orang tuamu! Mereka pastinya akan mempertanyakan siapa yang mendidik kamu sampai menjadi seperti itu," Tamara menjeda kalimatnya. "Seharusnya kamu mencontoh Vanca. Berbeda dengan kamu, dia tidak pernah sekali pun mengecewakan Mama dan Papa."
Bibir Venus mencebik. Oh, ayolah. Bisakah orang tuanya itu mengomel tanpa membanding-bandingkan dirinya dengan Vanca? Ia muak mendengarnya.
"Jangan sampai Vanca tertular oleh kelakuan buruk kamu itu," lanjut Tamara memberi peringatan.
Tatapan Venus berubah nyalang tatkala mendengar nada bicara Tamara yang seolah melimpahkan semua kesalahan padanya. Adrenalinnya terpacu, tertampar oleh realita yang sialnya mampu membuat khayalan indahnya hancur berantakan.
Venus pernah berpikir bahwa suatu saat setidaknya ia harus membuat hubungan Electra dan keluarganya menjadi lebih dekat. Perkataan Venus sebelumnya pun hanya sebagai bentuk pancingan bagaimana orang tua Electra akan memberi tanggapan.
Bodohnya, Venus mengharap sesuatu yang tidak seharusnya dia harapkan.
"Pada akhirnya yang kalian pedulikan cuma reputasi, kan?" Venus bertanya sarkas. "Kalau begitu, selamat, reputasi kalian akan lebih tercoreng untuk ke depannya," tambahnya.
"Kami gak pernah mengajarkan kamu untuk menjadi liar, Venus!" Tian naik pitam mendengar penuturan yang Venus lontarkan. Kesannya seperti Tian dan Tamara bukanlah orang tua yang baik dan tidak peduli pada anak mereka sendiri. Padahal selama ini mereka bekerja mati-matian demi anak, tapi balasannya tidak setimpal dengan usaha yang dikeluarkan.
Venus terkekeh pelan. Merasa lucu akan situasinya.
"Selain kirim uang, emang pada dasarnya kalian gak pernah mengajarkan apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
ZENNUS: Zvezda
Teen FictionTidak pernah terlintas dalam pikiran Venus Arinka bahwa takdirnya mati tenggelam setelah mencoba menyelamatkan saudari tirinya. Tapi, siapa sangka jiwanya malah terlempar ke salah satu tokoh novel Je Te Veux, tokoh yang memiliki nama depan yang sama...