BAB 23 : Rumah Dinas?

5.7K 269 2
                                    

Suasana kendaraan yang kini melaju lambat menuju kantor Nala terasa hening dan senyap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Suasana kendaraan yang kini melaju lambat menuju kantor Nala terasa hening dan senyap. Baik Nala mau pun Andika, keduanya tidak ada yang berniat untuk membahas perihal pesan masuk yang baru saja Nala terima dari seseorang. Nala sendiri pun enggan untuk menghubungi nomor tersebut.

Dari ekor matanya, Andika dapat menangkap gestur wajah Nala memang menunjukkan ekspresi datar seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Nala seperti pintar menyembunyikan perasaannya kepada Radit.

Walaupun sebenarnya Andika dapat merasakan mungkin hingga detik ini nama Radit masih terukir indah di dalam sudut terdalam hati seorang Nala.

Tetapi, bukankah beberapa orang memang akan menyimpan satu nama terindah di dalam hatinya hingga kapan pun itu?.

Satu nama yang kedudukannya tidak akan pernah bisa tergantikan oleh siapa pun dia yang datang di masa depan. Nama itu akan abadi dan menjadi rahasia bagi si penyimpannya.

***

Melenyapkan pikiran tentang Radit,  Andika tiba-tiba teringat akan sesuatu hal yang ingin dia tanyakan dan dia sampaikan pada Nala. Pembahasan penting yang belum pernah mereka diskusikan sebelum ini.

"Dek," panggil Andika membuyarkan lamunan perempuan itu.

"Hm, kenapa Mas?" Nala menengok ke arah Andika dengan menaikkan dua alisnya.

"Mas mau tanya boleh, ngga?"

Nala tertawa mendengkus. "Sejak kapan Mas mau tanya harus permisi dulu sama aku?"

"Ngga juga sih cuma speak basi doang," jawab Andika santai dengan tangan yang terus memutar setir kemudi.

Ekspresi Nala? Jangan tanya, sudah pasti dia langsung melengos malas membuang pandangannya ke luar jendela mobil.

Andika tertawa gemas mendapati raut cemberut Nala.

"Dek, setelah kita menikah kamu mau ngga ikut tinggal sama Mas?" lanjut Andika mulai masuk ke inti pembahasan.

Nala sekali lagi menoleh menatap Andika. Kali ini dengan raut wajah serius.

"Di kost-an Mas? atau di rumah Ibu?" tanya Nala.

"Kalau di rumah dinas? Kebetulan ngga jauh dari kantor, ada beberapa rumah dinas yang masih kosong, jadi bisa kita pakai untuk tempat tinggal," ujar Andika dengan nada ragu.

Mendengar itu, kening Nala mengerut tajam. 

"Kenapa harus tinggal di rumah dinas kalau aku punya rumah sendiri, Mas?" protes Nala terkesan berat dan mempertanyakan keinginan Andika tadi.

"Posisinya beda, Dek. Itu rumah kamu. Kalau Mas tinggal di sana, itu sama aja Mas numpang sama kamu. Sebagai suami dan laki-laki, tentu harga diri Mas akan turun, Dek."

Nala terlihat gamang. Dia menarik nafas kuat lalu menghembuskannya dengan perlahan. Kenapa baru membicarakan ini sekarang, pikir Nala. 

"Kalau kamu ragu dan mau berdiskusi dengan komandan, ngga apa-apa, Dek," saran Andika dan langsung mendapatkan penolakan keras dari Nala.

HELLO, MR. POLICE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang