"Bunda, Ayah. Tolong jangan bawa adik dulu ya?"
Zhang Hao memasuki mobilnya dan segera keluar dari parkiran rumah sakit. Sepanjang jalan lelaki itu sibuk dengan pikirannya. Giginya terus menggigit jarinya dan jari di tangan lain sibuk mengetuk kemudi. Perasaan tidak tenang ini menakutkan. Zhang Hao tidak pernah sekalipun mengharapkan kematian siapapun. Baik Gyuvin maupun Yujin, Hao tidak ingin kematian siapapun. Tapi malam ini, ada dua nyawa yang diambang kematian.
Sementara itu, Hanbin masih tidak bisa menangani Gyuvin. Mental laki-laki yang bertahan hidup sebatang kara selama 8 tahun dengan mengetahui kenyataan bahwa kedua orang tuanya meninggal di hari yang sama dengan adiknya yang menghilang, hari ini hancur.
Betapa semesta sangat membenci dirinya, tak apa, tapi Gyuvin ingin semesta menyayangi adiknya Yujin yang ketika usianya belum genap 20 tahun, nyawanya sudah di ambang kematian. Gyuvin ingin siapapun, entah itu Tuhan yang selalu dia percayai dan tempat dia selalu melontar permohonan atau semesta tempat dia berpijak dan menumpang, menyayangi adiknya. Menyelamatkan satu nyawa muda yang dia sayangi.
Dan hari ini Gyuvin mengetahui bahwa dialah yang merenggut nyawa muda itu. Karenanya lah adiknya terbaring di atas bangsal. Dia selalu berpikir jika dialah yang paling menyayangi sosok kecil adiknya. Bahwa dia selalu meyakini, dia adalah kakak yang meski tidak mampu memberikan rasa aman pada adiknya, tapi dialah yang paling menyayangi sosok kecil itu dan selalu ingin berusaha untuk bisa menjaga kebahagiannya.
"Vin, gimana Yujin kalau kamu kaya gini? Disaat kaya gini, kamu yang paling dibutuhkan Yujin. Jadi aku mohon, kita kembali ke rumah sakit sekara-"
"Aku yang buat Yujin kaya sekarang. Aku yang buat adikku sendiri berada di rumah sakit..."
"Tapi itu bukan berarti kamu seperti ini," Hanbin masih memeluk belakang Gyuvin yang menghadap ke Sungai Han. "Yujin ngga punya siapap-"
"Zhang Hao," sebut Gyuvin dengan pandangan kosong. Dia tidak tersenyum, tapi matanya menerawang tenang ke arah ujung sungai yang bisa dia lihat. "Dia jahat, awalnya ku pikir begitu. Tapi apa kau tau? Sekarang bahkan mau tidak mau aku menyadari bahwa dia tidak sejahat diriku."
"Kim Gyuvin-"
"Setidaknya dia tidak merenggut nyawa Yujin." Gyuvin menolak untuk mendengarkan apapun saat ini. Dia hanya ingin didengar, dan kepekaan Hanbin mampu menutup rapat mulutnya meski dia tidak tahan dengan semua ucapan Gyuvin.
Untuk sejenak, Gyuvin diam. Tapi justru Hanbin yang tidak tahan dengan keheningan ini. "Gyuvin, ayo bicarakan baik-baik. Yujin tidak membencimu, kau tau kan?"
Detik itu, ada semilir angin yang menerbangkan tawa hampa Gyuvin. Sorot matanya membeku putus asa. Tidak ada kehidupan di legam matanya. Hanya kekosongan yang sudah terlalu dalam.
"Dia adik yang baik, tapi aku bukan. Jadi aku membenci diriku sendiri yang begitu payah menjadi kakak yang becus untuk adik sebaik Yujin."
Lagi... Gyuvin terdengar menolak untuk mendengarkan. Jadi Hanbin menutup rapat mulutnya yang bergetar dengan sesegukan.
"Sejak kecil aku benci pernyakit kelainan bawaan yang menurun dari keluarga mama. Karena aku jadi lebih lemah daripada adikku. Aku tidak membenci adik, aku hanya membenci diriku yang lemah padahal tanggung jawabku adalah menjaga Yujin selain menyayangi dan menemaninya bermain."
"Saat banjir bandang itu terjadi, aku tidak bisa melindungi Yujin karena aku lemah dan penyakitan. Aku juga-"
"Cukup. Ayo kembali ke rumah sakit. Yujin mungkin sekarang-"
"Hanbin," Gyuvin memotong lagi, laki-laki itu terdengar tidak mau mendengarkan siapapun. Dia hanya ingin setidaknya Hanbin bisa mendengarkannya, karena hanya Hanbin yang bisa memahami bagaimana dia merasakan sakit kehilangan adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BROTHER | KIM GYUVIN & HAN YUJIN
FanfictionGyuvin pernah punya adik, sebelum tragedi itu terjadi. Yujin yakin dia anak tunggal, sesudah tragedi itu membawanya ke ingatan menyakitkan. Kim Gyuvin dan Han Yujin adalah dua bersaudara, sebelum tragedi itu memisahkan mereka. CERITA INI UNTUK MEN...