Becky
Aku membuka mataku dengan jeritan tertahan di tenggorokanku.
Setiap otot di tubuhku menjadi kaku, jantung berdetak kencang seakan baru selamat dari bencana. Tolong katakan jika ini hanya mimpi buruk.
Tepat di hadapanku terdapat cermin setinggi langit-langit di bagian depan lemari pakaianku, aku menatap bayanganku sendiri dengan mata terbelalak dan dilanda ketakutan. Pipiku menempel di bantal dengan tali piama putihku yang acak-acakan terjatuh dibawah bahuku. Secercah cahaya bulan keperakan menyinari selimut yang kukenakan. Jam di meja samping tempat tidur terus berdetak setiap detiknya. Ini hampir jam satu pagi.
Sosok besar serta berotot yang diselimuti kegelapan. Bergeser dengan gumaman mengantuk, kepalanya berada tepat di belakang kepalaku di atas bantal. Aku tidak bisa melihat wajahnya kecuali rambut gelap halus yang tergerai di dahinya serta lengan kaus hitamnya yang melingkari otot bisepnya.
Manusia ini sangat besar, tinggi, dan bertubuh seperti monster. Pertama kali aku melihatnya, aku mengira bahwa dia adalah seorang tukang pukul. Aku merasa seperti berbagi tempat tidur yang biasanya luas ini dengan iblis setinggi sembilan kaki dari neraka. Panas tubuhnya membakar punggung kakiku yang telanjang dan kamar tidurku yang biasanya berbau harum dipenuhi dengan aroma maskulin yang invasif.
Aku benci orang ini di siang hari, dan aku takut padanya di malam hari. Aku tidak tahan dia menatapku atau bahkan bernapas di dekatku, aku benar-benar benci sensasi tubuhnya saat menyentuh tubuhku. Setiap detik, setiap hari, aku berusaha menghindari keberadaannya juga mengabaikan cara dia menatapku dari seberang meja makan. Dia tidak seharusnya berada di tempat tidurku. Kami bukan sepasang kekasih.
Kami bahkan bukan teman.
Freen Sarocha adalah suami muda Ibuku, dia berusia dua puluh sembilan tahun, dan seorang bajingan kelas atas.
Aku mengangkat daguku, mengendus-endus udara, mencium aroma alkohol yang mungkin bisa menjelaskan kenapa Freen salah mengira kamarku sebagai kamar yang ia tinggali bersama Ibu, tapi yang ada hanyalah aroma cologne-nya. Freen tidak bisa ditebak, keluar masuk rumah sepanjang waktu semaunya, siang dan malam. Dia lebih seperti binatang yang gelisah daripada manusia. Kadang-kadang aku melihatnya tidur di sofa atau di kursi berjemur di tepi kolam renang.
Suatu pagi minggu lalu, dia tergeletak di lantai ruang tamu, aku melangkahinya diam-diam saat dalam perjalanan ke dapur. Freen tiba-tiba terbangun untuk meraih pergelangan kakiku dan menolak melepaskannya saat aku memekik mencoba melepaskan. Cengkeramannya seperti borgol besi, serta mata coklatnya berkilat penuh kebencian. Sementara itu, dia hanya menyeringai seolah ini adalah hiburan baginya.
Aku berhasil menendang tulang rusuknya dengan sepatu kets yang aku kenakan, membuatnya mendengus kesakitan. Meski begitu dia masih tersenyum licik dan malah menarikku lebih dekat sehingga dia bisa membalas dendam dengan melihat kedalam rokku.
Freen menatapku dari lantai. "Mm, renda putih favoritku."
Pipiku terbakar karena malu, aku menyelipkan rokku di antara kedua kakiku. "Dasar brengsek."
Langkah kaki ibu terdengar menuruni tangga marmer, Freen melepaskanku begitu cepat hingga aku tersandung.
Pada saat ibu masuk ke dapur dengan jubah sutra berwarna merah tua yang tergantung di bahunya yang anggun, dia segera bangun dan bersandar di meja dapur sambil menyalakan mesin kopi, membuat seolah tidak terjadi apa-apa beberapa menit yang lalu. Dia terlalu licik.
Aku berusaha mengendalikan emosiku sebelum berbicara. "Bu, Freen baru saja menarikku, dan dia tidak mau melepaskannya."
Freen memberikan kopi yang selesai dia buat kepada Ibu, tanpa krim atau gula, sesuai favoritnya. Ibu menatap bingung dengan sikap bijaksananya yang tidak seperti biasanya, tapi kemudian menerima cangkir itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MALEVOLENCE (adaptasi) END
RomanceALL CREDITS GOES TO THE ORIGINAL AUTHOR/S. 21+ dark story