Freen
Jeritan keras terdengar dari bawah serasa mengguncang seisi rumah, mungkin sebentar lagi rumah ini akan runtuh.
Aku membalikkan tubuhku di tempat tidur, tersenyum pada diriku sendiri, karena aku tahu kenapa istriku berteriak histeris pagi-pagi begini.
Langkah kaki setengah berlari menaiki tangga, tak lama setelah itu pintu kamar terbuka.
"Pestanya dibatalkan."
"Mmph," gumamku mengantuk.
Giulia menarik selimut yang menutupi seluruh tubuhku, dia meraih bahuku sedikit keras. "Apa kau mendengarku? Aku bilang pestanya dibatalkan."
"Kenapa kau melakukan itu?"
"Aku tidak melakukannya!" dia menjerit, suaranya seakan merobek gendang telingaku. "Aku baru saja mendapat telepon dari pihak katering yang mengatakan bahwa tempat itu menolak mengizinkan mereka mengantarkan makanan dan minuman, jadi aku menelepon pihak Hotel. Mereka mengatakan aku sendiri yang membatalkannya beberapa minggu yang lalu, tetapi aku sungguh tidak melakukan hal seperti itu. Bagaiman ini? Aku sudah susah payah mendapatkan gedung itu"
"Cari saja tempat lain" gumamku malas, aku menarik selimutku lagi hingga menutupi kepalaku.
"Kau sama sekali tidak membantu" teriaknya, aku bisa mendengar jika dia melangkah menjauh dari tempat tidur
"Tutup pintunya lagi sayang, aku masih ingin tidur"
Giulia membanting pintu dengan kencang. Menumpahkan segala amarahnya.
Aku sudah menyingkir setengah hari ini, menghindari Giulia yang menelepon dengan marah ke semua orang di daftar tamu, mengeluh tentang layanan pelanggan yang buruk di Regency.
Sekitar pukul tiga, aku berjalan ke dapur sambil memainkan kunci mobil di tanganku. Aku mendekati Giulia dan juga Becky yang terlihat sedang menikmati roti panggang dan jus. "Ayo kita pergi Tinkerbell"
Dia menjejalkan sisa roti ke dalam mulutnya tepat saat Giulia menatapku dengan mata sembab.
"Mau kemana kalian?"
Aku tidak repot-repot melihatnya saat aku menuju ke garasi. "Pemakaman."
"Kau tidak seharusnya memanggilku Tinkerbell di depan Ibu" protes Becky saat kami sudah dalam perjalanan.
"Tapi aku suka membuat Giulia semakin kesal" aku mengulurkan tangan untuk menyentuh pipinya. "Kau terlihat cantik sayang. Bagaimana perasaanmu?"
Becky meraih tanganku dipipinya, dia meremas jari-jariku dengan lembut "Senang sekaligus merasa bersalah"
Aku tahu, tapi gadisku telah melakukan hal yang paling benar dalam hidupnya, dan itulah yang terpenting bagiku saat ini.
Pemakaman itu sendiri berada di timur kota, tempat yang sangat suram dengan gerbang besi hitam yang berkarat, dengan halaman luas yang dipenuhi rumput, serta ratusan bunga mawar yang tertanam rapi di setiap pinggir jalan pemakaman.
Kami berjalan dalam diam menyusuri jalan panjang yang dipenuhi batu nisan, di bawah pepohonan dengan dedaunan hijau lebat.
Becky membawa langkah kita langsung ke makam ayahnya. Dia berlutut, dengan lembut menyapu dedaunan kering yang menutupi nisan. Aku mundur untuk memberinya ruang, menatap sendu nama yang terukir di marmer. Ennio Russo.
Putrimu tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, Tuan Russo. Kau pasti akan bangga dengan putrimu jika kau masih hidup. Dan mungkin kau akan membenciku.
Becky meletakkan buket bunga yang dia bawa di dasar batu nisan. Akhirnya dia menyentuh marmer tempat namanya diukir lalu berdiri. "Aku sudah menghabiskan banyak waktu dalam hidupku tanpa dia. Tapi aku masih merindukannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
MALEVOLENCE (adaptasi) END
RomanceALL CREDITS GOES TO THE ORIGINAL AUTHOR/S. 21+ dark story